Jeongguk
Tumpukan baju yang digantung mencuri perhatian Jeongguk. Masih baru dan entah bakal dimiliki oleh siapa. Ia kemari cuma karena desakan Jimin yang berkata kalau ia butuh baju baru. Disinilah keduanya saling menemani dan berakhir masuk ke banyak toko dengan berbagai barang yang dijajakan. "Ndak mau beli kemeja?" Jeongguk menarik salah satu kemeja berwarna merah darah. Lumayan gelap dan bias membuat kulit Jimin yang seputih susu bersinar ketika bersanding dengan kain itu.
"Aku merasa kalau tidak terlalu cocok pakai kemeja, jadinya tidak pernah punya." Tanpa menoleh, Jimin berjalan-jalan mengelilingi rak pakaian di sisi yang lain. "Kalau kamu bagaimana? Apa ada jenis baju yang tidak kamu suka?"
"Mungkin yang terbuat dari kain jeans."
"Alasannya?"
"Ndak tahu." Jeongguk mengedikkan bahu. Kembali berjalan mengekor dan mendekat pada lawan bicaranya sekarang. "Rasanya sesak dan kaku. Susah bergerak juga." Setelah fashion jeans sampai di Indonesia dan mencobanya beberapa kali, ia benar-benar berdoa untuk siapa pun yang telah menciptakan kain kaku yang tidak bisa diapa-apakan itu. Susah di segala aspek. "Kalau baju yang kamu suka? Yang kayak apa?"
"Kaos tipis dan celana pendek." Tubuh mungil di hadapan Jeongguk berhenti di depan rak sepatu sneakers. Menengok ke beberapa pasang yang punya warna hitam. "Tapi Denpasar lebih dingin dari Surabaya jadi aku lebih nyaman waktu pakai celana panjang." Dilihat dari tabiat, keseharian, dan cara pemuda ini berpakaian, Jimin tidak punya satu aspek pun yang membuat orang berasumsi kalau ia nyatanya mampu jatuh cinta pada seorang pria. Pemilihan warnanya kelam dan cenderung agak suram. Hampir berbanding terbalik dengan ia yang ada di dalam kos. Jeongguk masih bisa temui warna baby blue dan smoky pink sebagai kaos tidur. Pemuda ini juga beberapa kali mengenakan piyama dengan warna yang sedikit ringan di mata. Tidak kontras dan lebih lembut. Mungkin ini salah satu akibat trauma yang ditimbulkan selain gampang panik, bisa saja ini adalah hal-hal yang menyelimuti pribadinya supaya tidak kena omel orang. Menjadi semaskulin mungkin. Diam sebentar saja Jeongguk bisa rasakan batinnya sesak. Ia hampir tidak pernah berpura-pura dalam hidupnya. Sedang seseorang dengan masa hidup yang lebih sedikit ini justru harus dihabiskan di bawah bayang-bayang kalau ia dituntut menjadi orang lain. Demi mengamankan apa yang tersisa padanya. Sekecil apapun hendak Jimin pertahankan.
"Kamu suka warna apa, Jimin?"
"Warna?"
"Iya."
"Tidak ada yang spesifik, sih. Tergantung model baju yang aku pakai juga."
Jeongguk manggut-manggut mengerti.
"Kalau kamu, Jeongguk? Apa yang kamu suka?"
"LSD."
"Ha?" Jimin buru-buru mendekat. Menangkup bibir kawannya sambil mencoba melotot memperingatkan. "Maksudnya gimana? Bukan LSD yang LSD, kan?"
"Aku bercanda." Jawaban itu masih tersedam. Jimin agaknya menolak membebaskan pria yang menemaninya. Membiarkannya berusaha bercakap dengan dibekap.
"Tidak lucu, Jeongguk. Sama sekali tidak lucu."
"Kamu mau tahu efek narkoba itu apa?"
"Tidak." Jimin menggeleng kuat-kuat.
"Yang pakai bisa tahan bekerja belasan jam karena obat itu bikin jantung berpacu cepat. Energinya bisa berkali-kali lipat."
"Kan, aku bilang kalau tidak mau tahu."
"Aku cuma jelaskan saja." Jeongguk rengkuh bergelangan tangan mungil pemuda yang telah melewati banyak cobaan dalam hidupnya ini supaya sudi memberinya waktu untuk bicara. "Kalau manusia bekerja jadi cepat karena narkoba dan bisa jadi lamban karena ndak pakai, apa itu berpengaruh ke pekerjaan, Jim?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Dewananda [kookmin]
Fanfiction[ ON REVISION WITH ADDITION SCENE ] : KookMin Indonesian's Mythology: Legenda Naga Basuki Ia tidak pernah menanti sebuah ampunan yang datang dari Sang Hyang Widhi. Biarlah nanti ia menerangi jalannya sendiri. Tapi mengapa sosok itu datang dan membua...