Aku menikah dengan Arga sudah hampir setahun, dua bulan lagi kami akan merayakan hari jadi yang pertama--itupun kalau suamiku tercinta punya inisiatif untuk merayakannya. Aku berharap sih, walau hati kecilku tahu itu hanya harapan kosong.
Lihatlah dirinya, dengan santainya datang membuka pintu, meletakkan sekotak martabak di pangkuanku tanpa mengucapkan sepatah katapun. Lalu dengan letih lesu ia berjalan ke kamar mandi. Orang pembersih seperti dia pasti sudah ingin mengganti baju sejak berada di kantor tadi siang.
Tidak ada sapaan sayang, tidak ada cipika-cipiki layaknya pengantin yang masih dalam balutan madu pernikahan. Yang ada cuma martabak sialan yang bikin pahaku jadi panas ini.
"Kok martabak, sih? Ini kan hari Rabu," tanyaku saat ia menghempaskan diri di sofa, tanpa tahu malu langsung merebut remot dan mengganti tayangan true crime yang sedang kutonton. "Jangan diganti dong, lagi seru itu!"
Dengan tangan kanannya Arga membekap mulutku, "Memangnya kalau Rabu aku harus beli apa?"
Setelah sepuluh bulan menikah aku kadang masih bergidik geli setiap kali dia menyebut dirinya dengan 'aku', dan memanggilku dengan 'kamu', setelah sepuluh tahun kami habiskan saling ber'lo-gue'. "Biasa beliin croffle kalau Rabu."
Ini lagi kebiasaan Arga yang aneh: dia akan selalu membawa jajanan setiap pulang kantor, dan jajanan apa yang dia bawa tergantung dengan harinya. Awalnya aku tidak terlalu ngeh, tapi lama-lama kok setiap Senin dia bawa Martabak, Selasa bawa cilok atau batagor, Rabu bawa croffle, Kamis bawa gorengan, Jumat dia akan menjemputku dari kantor untuk makan malam bersama. Aku biasa pulang 1 jam lebih awal darinya.
"Kamu bosen sama martabak?"
"Ya engga, nanya doang."
"Kamu jangan suka nanya gitu, ntar jadi Si Unyil. Nikmati aja kek yang udah dibawain suami." Dia mengangkat bungkus martabak dari pahaku, lalu menempelkan telapak tangannya di situ. "Kok gak dipindahin dari tadi, sih? Ini gak panas?"
Aku nyengir kuda. "Panas, tapi tadi."
Arga berdecak lalu berdiri dan melangkah ke dapur, membawa martabak yang tadi dibelinya. Hari ini memang aku sedang mode malas beranjak. Sejak pulang dari kantor tadi, aku langsung mandi dan bertengger di sofa ini. Kerongkongan yang kering dan butuh air pun tak ku hiraukan saking malasnya.
Ketika dia kembali, martabaknya sudah dipotong ke bagian yang lebih kecil, serta ada segelas susu di tangan dan tumbler yang diapitnya di lengan. Susu itu kemudian disosorkan di depan wajahku. "Abisin."
Aku mendengus tapi tetap menerimanya. Tanpa pernah absen, Arga akan selalu membuatkan susu buatku yang ada riwayat anemia ini. Ia bahkan rutin meminta temannya di Malaysia untuk mengirimkan susu ini beberapa bulan sekali karena tidak ada di Indonesia.
Sebenarnya awal mula cerita ini lucu sekali; aku memang sudah anemik dan beberapa kali pingsan karenanya, tapi aku tidak suka minum susu dan tidak mau mengurangi aktifitasku, jadilah orang tuaku membiarkannya dan hanya membawaku check-up sesekali ke rumah sakit untuk mendapat suplemen. Suatu hari, mamaku dengan cerewetnya komplain soal hal ini ke Arga dan mengatakan bahwa perempuan dengan anemia akan sulit untuk hamil. Besoknya aku melihat lima kotak susu dan suplemen ada di pantry rumah kami.
Mamaku pun tersenyum puas melihatnya saat berkunjung. "Memang ga salah Mama nyodor-nyodorin kamu ke Arga, suami siaga dan cepat tanggap seperti dia sulit dicari."
Aku hanya mengangguk mengiyakan.
Kali inipun aku menghabiskan susu tanpa banyak protes, lalu menaikkan kaki ke sofa dan menyenderkan bahuku ke bahunya. Kami jadi menonton tayangan ulang pembukaan Asian Games di Jakarta. Meskipun seru, tapi sudah beberapa kali ku lihat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Make Believe - Bianca Nismara
RomanceAku tahu, Arga mengajakku menikah hanya karena akulah satu-satunya perempuan yang ada di sekitarnya ketika keluarganya mendesak. Dan aku juga tahu, aku menyetujui ajakan bodoh itu tanpa berpikir dua kali karena... aku membuat dugaan pongah tentang b...