1. RETAKAN DI LANGIT

20 3 2
                                    

Aku tahu, ada saat-saat di mana seseorang akan dihadapkan pada dua pilihan. Dan terkadang ... sulit memilih satu di antaranya. Sama seperti pertanyaan menjebak yang kerap kudengar. "Jika ibu dan kekasihmu tenggelam dan kau hanya bisa menyelamatkan salah satunya, siapa yang akan kau selamatkan?"

Ah, orang naif yang berlagak bak pahlawan pasti akan menjawab tanpa ragu. "Tentu saja aku akan menyelamatkan keduanya!"

Realitas jauh lebih kejam dari apa yang kau pikirkan. Tidak selamanya dapat berjalan sesuai harapan. Memaksakan keserakahan untuk menyelamatkan keduanya, bukankah kau akau berakhir dengan kehilangan segalanya? Oleh karena itu, aku masih belum tahu harus menjawab apa dan takut jika dihadapkan pada situasi nyata. Sebenarnya, aku tak lebih dari perempuan pengecut.

Namun, dengan pasti aku sadar, bahwa kebaikan yang menyerempet pada kebodohan itu hanyalah racun. Seperti apa yang kualami saat ini.

***

Langit yang biasanya berwarna biru mendadak berubah kemerahan, seolah-olah meneriakkan bahaya. Awan juga tidak lagi terlihat putih, malah seperti kapas yang dicelupkan ke dalam jus tomat hingga berwarna senada.

Kemudian muncul sebuah lubang diikuti retakan yang menjalar di sepanjang langit. Saat itu aku berpikir, apa ada makhluk luar angkasa yang sedang melubangi bumi dengan bor raksasa? Jika benar, betapa superiornya makhluk itu dan ... bagaimana jadinya nasib kami--umat manusia?

Makin lama, lubang yang bagiku tampak seukuran lubang cacing itu, terus membesar hingga dapat menaungi satu wilayah perumahan. Itu bukan lagi lubang cacing, melainkan lubang neraka.

Tidak sampai hitungan menit, lubang itu memuntahkan monster-monster dengan wujud buruk rupa dan mengerikan. Kali ini bahkan lebih banyak dari sebelumnya--saat kemunculan monster gelombang pertama. Itu artinya, tingkat bertahan hidup kami makin tipis.

Menyaksikan sendiri apa yang terjadi di sekitar membuat mataku goyah. Masih sulit menerima. Namun, ketakutan yang dengan jelas merayap seperti kelabang raksasa di tulang punggungku, menjawab segalanya. Bahwa inilah kenyataan. Bahwa inilah akhir dunia.

Jujur, aku bukannya takut mati. Toh, dulu, sebelum aku mengenal dia, mati memang seperti solusi menyenangkan dari segala macam masalah. Menawarkan penyelesaian tanpa benar-benar terselesaikan.

Namun, sejak mengenal dia, aku hanya ingin menjadi manusia egois. Cinta memang tak kenal ampun. Menyihirku agar--teramat--ingin hidup, demi mencintainya hingga ajal menjemput. Tunangan tercintaku yang terlalu baik hati, aku tidak pernah ingin kehilangannya.

Kupingku pengang mendengar jeritan dari orang-orang yang menggila. Bak diiringi instrumen keputusasaan, semua orang berlari untuk menyelamatkan diri. Tanpa peduli siapa yang diinjak atau didorong. Begitulah manusia, selalu berhasil bertahan hidup dengan menunjukkan sifat aslinya yang runcing seperti taring hewan buas.

Bau asap menyeruak akibat kendaraan yang ringsek dan terbakar di tepi jalan. Banyak juga bangunan yang rusak parah setelah diambil alih oleh segerombolan monster yang menyerang secara sepihak. Entah ini bisa dikatakan untung atau tidak, setidaknya monster yang muncul tidak ada yang seukuran godzilla di film Ultraman. Distrik ini pasti akan rata dalam satu injakan.

"Aku bilang pergi!" teriakku sambil memukul-mukul pria bodoh yang menggendongku dengan susah payah. "Aku hanya akan memperlambat, kau bisa berlari lebih cepat untuk menyelamatkan keluargamu." Aku benar-benar benci pada pria baik ini yang dengan bodohnya cuek akan keselamatan dirinya maupun keluarganya. Toh, kami masih tunangan, belum menikah. Dia bisa saja meninggalkanku. Aku tidak akan protes.

Tidak jauh di belakang kami, aku bisa mengintip ada monster dengan tinggi kira-kira 2.5 meter. Badannya menyerupai kadal dengan sisik abu-abu yang mengilat. Ia bahkan berjalan menggunakan kedua kakinya seperti manusia. Kaki-kaki yang ramping itu cukup bertenaga hingga menimbulkan getaran di aspal tiap kali melangkah.

Entah ekspresi apa yang ditunjukkan si monster kadal di balik wujud kepalanya yang hanya berupa tengkorak dan kedua rongga mata yang diisi oleh nyala api biru. Namun, si monster kadal berhasil meninggalkan kesan teror setelah aku melihat sendiri mulut yang menganga lebar dengan gigi tajam di bagian perut itu melahap seorang ibu dan anak yang sedang melarikan diri.

Tidak banyak percikan darah, karena kedua manusia itu langsung diamankan ke dalam perutnya. Aku merasa begitu buruk karena tidak bisa berbuat apa-apa selain menonton dengan perut mual. Meski memang bukan kewajibanku juga untuk menyelamatkan mereka.

Kurasa, aku tidak akan bisa melupakan bagaimana ekspresi dan rengenkan si anak sesaat ketika ibunya dilahap bulat-bulat. Hingga akhirnya ... dia pun ikut tak bersuara.

"Jangan berbalik, Eve. Jangan menyaksikan apa pun, tutup saja matamu itu." Lucas memperingatkan dengan suara cemas. Menu makanan tadi pagi rasanya naik ke tenggorokan dan kembali kutelan agar aku tidak mengotori Lucas dengan muntahku. "Dan jangan mengusirku lagi, oke? Aku akan selalu berada di sisimu. Tidak mungkin, kan, aku meninggalkan calon istriku di tengah kekacauan ini. Aku juga percaya, orang tua kita pasti sudah mengungsi ke tempat yang aman. Dan kita berdua pasti akan bertemu dengan tim penyelamat."

Saking naifnya kata-kata yang keluar dari mulut Lucas, aku jadi tidak bisa marah lagi. Apa ... kami benar-benar bisa selamat? Atau mungkin saja ending kami tidak beda tipis dengan nasib ibu dan anak tadi.

Akhir DuniaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang