2. GANG KUMUH

8 3 0
                                    

Lucas terus berlari tanpa memedulikan staminanya yang berkurang drastis karena harus menggendong si beban. Jujur saja, kami sangat kesulitan melarikan diri, aspal yang terus bergetar akibat langkah si monster kadal membuat Lucas sampai menggertakkan gigi. Berusaha keras menjaga keseimbangan agar tidak terjatuh saat membawaku di punggungnya.

Dalam beberapa tarikan napas, kami berhasil menjaga jarak. Entah apa ini patut disyukuri atau tidak. Sebab monster itu berhenti bergerak saat fokus melumat daging--dua orang kurang beruntung tadi--yang kini memenuhi mulutnya. Sampai-sampai darah belepotan di sekitar perut yang tidak bersisik dan tampak licin itu. Aku segera memejamkan mata, berhenti menghadap belakang karena hanya terus menambah rasa bersalah.

Penampilan Lucas tampak makin sekarat karena kelelahan. Mustahil terus berlari tanpa tujuan seperti ini. Aku makin risau. Ditambah jika monster-monster yang terbang di udara dengan paruh lebar itu mendekat dan menghabisi kami dalam satu sambaran ... habislah sudah.

Hah ... rasanya aku masih tidak setuju dengan keputusan Lucas yang keras kepala ini. Mengusahakan dua orang untuk selamat, itu adalah usaha sia-sia. Setidaknya, peluang bertahan hidup dia akan lebih besar jika meninggalkan si beban ini. Aku akan ikut senang seandainya dia dapat hidup dan melakukan apa yang direncanakannya. Mendirikan toko sederhana yang jauh dari keramaian kota untuk menjual hasil kerajinan tangan yang imut dan cantik.

Intinya, seribu kali lebih baik apabila orang seperti dia yang hidup, ketimbang orang sepertiku. Dan aku tidak bisa membayangkan dunia tanpa Lucas--terlalu gelap. Jadi sungguh, aku rela menarik perhatian para monster, asal Lucas bisa kabur sendirian.

Begitu sadar bahwa arah ini dekat dengan gang yang dulu sering kami lalui, aku segera menepuk pundak Lucas. "Hei, berhentilah. Ayo kita sembunyi di gang itu." Gang ini merupakan jalan pintas saat ingin pergi kencan ke bioskop sepulang sekolah dan sering dijadikan tempat nongkrong.

Refleks aku menjepit hidung dengan kedua jari kuat-kuat ketika tercium aroma busuk seperti kaus kaki yang tidak dicuci berbulan-bulan dicampur bau makanan basi begitu Lucas melangkahkan kaki ke dalam gang. Kondisinya lembap, temaram, dan kotor. Jauh berbeda dengan apa yang ada di ingatanku. Lucas juga terlihat menahan napas sambil membusungkan dada dan mengecek situasi sekitar dengan waswas.

Sepertinya aman.

Rupanya ada banyak plastik sampah yang dibiarkan menumpuk satu sama lain karena tempat sampahnya tak kalah penuh oleh barang rongsokan. Lalu di sepanjang tembok ada banyak umpatan yang ditulis besar-besar dengan kaleng semprot ketika aku menyinarinya dengan cahaya ponsel, mungkin ulah anak-anak zaman sekarang yang selalu ingin berekspresi.

"Apa masih tidak ada sinyal?" tanya Lucas. Pertanyaan yang terasa berat untuk kujawab. Karena hanya mempertegas keputusasaan.

"Iya. Tidak ada. Kita bahkan tidak tahu tindakan apa yang diambil pemerintah. Apa mereka akan menyelamatkan kita?"

"Pasti. Kalaupun tidak, hanya kita yang dapat menyelamatkan diri kita sendiri," kata Lucas percaya diri. Dia menurunkanku dari gendongannya lalu membantuku duduk di atas salah satu plastik sampah. Tidak ada tempat duduk lain.

Sengaja kusoroti wajah Lucas dengan senter. Barulah terlihat jelas bahwa dia seperti orang kehabisan napas. Tapi berusah keras berlagak baik-baik saja.

"Sudah tidak perlu menyenter lagi karena bisa saja menarik perhatian mereka. Kamu juga harus menghemat baterai ponselmu," saran Lucas yang ikut mendaratkan bokongnya di sampingku.

"Baiklah." Aku menurut dan menyimpan ponsel di tas selempang yang tersampir di bahu.

Setelah menyesuaikan diri dengan kondisi gang ini, kurasa hidung kami mulai kebal dengan aroma busuknya. Toh, siapa yang akan peduli dengan rasa jijik ketika berada di situasi antara hidup dan mati?

Lucas menggenggam kedua tanganku. "Kau baik-baik saja? Tanganmu gemetar."

Ah, aku baru sadar bahwa tanganku gemetaran. Mungkin karena adaegan detik-detik terakhir si ibu dan anak itu terus berputar di kepalaku. Aku tidak seharusnya seperti ini.

Aku mengangguk dengan berat. "Iya, aku baik-baik saja." Tidak, sebenarnya aku takut. Aku mulai berpikir mending mati saja dengan loncat ke laut. Ketimbang terus melihat mayat yang bergelempangan. Aku merasa makin tidak waras karena harus berdamai dengan pikiran negatif.

"Eve," panggil Lucas, dia memelukku, "jangan khwatirkan apa pun. Aku di sini. Di sampingmu."

Akhir DuniaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang