Kurasa kaki kananku jadi seperti ini setelah menghadiri acara reuni. Hari ini akhir pekan dan semua tampak normal. Tidak ada badai atau perkiraan cuaca buruk. Siapa sangka kalau beberapa jam kemudian malah jadi bencana hebat. Di saat kami bahkan belum memperisapkan apa pun. Apa selama ini kami terlalu menyepelekan waktu yang berharga? Mungkin saja.
Dengan segala ketidakcocokan jadwal, akhirnya reuni antara teman-teman SMA diadakan di restoran piza milik Shimon—si mantan ketua kelas—pukul 10.00. Mereka bilang lebih baik bertemu pagi, karena kebanyakan memiliki rencana tersendiri jika memilih waktu malam.
Aku dan Lucas yang sudah pindah ke Distrik 13 harus menaiki kereta menuju Distrik 04—kampung halaman kami sekaligus tempat janjian. Sekalian juga mengunjungi keluarga, setelah beberapa tahun tidak berjumpa.
Kami tiba pukul 10.15 karena sempat tersesat ketika mencari alamat Shimon. Untungnya ketemu. Rupanya hampir semua orang hadir, kecuali si kembar Anna dan Anne. Empat meja sudah terisi dengan empat bangku di setiap meja.
Shimon menyambutku dan Lucas, lalu mengantarkan kami duduk di meja kosong yang dekat dengan pintu masuk. Teman-teman terus menggodaku dan Lucas karena hubungan kami yang awet sejak SMA. Guruan dan percakapan mengalir tiada habisnya. Suasana yang hangat.
Shimon menyajikan piza yang baru keluar dari oven didampingi dengan bir. Kombinasi yan pas untuk acara kumpul-kumpul. Aku menarik kursi dan bergabung dengan meja teman-teman yang lain, mereka terus saja mencekokiku bir karena kalah bermain game. Tanpa sadar, aku juga ikut mengunyah piza dengan topping udang di meja mereka. Padahal aku alergi makanan laut. Hanya sepotong, kurasa tidak masalah. Sudah lama juga tidak makan udang meski sangat menyukainya.
Setelah beberapa saat, untungnya tidak muncul tanda-tanda alergiku kumat. Namun, aku merasa kaki kananku seperti terbakar. Panas sekali. Aku meminta Shimon memanggil Lucas yang sedang merokok di luar.
“Ada apa, Eve? Kau baik-baik saja?”
Aku menggeleng. “Kakiku panas.”
Shimon berlari ke ruang karyawan yang dipinjamkannya untukku beristirahat sambil membawa seember air es lalu menyerahkannya pada Lucas. “Ini untuk meredakan rasa panas di kaki Eve,” katanya. “Aku tidak tahu apa yang terjadi, tapi Eve tiba-tiba mengerang kesakitan. Aku sudah menelepon dokter kenalanku untuk segera ke sini.” Shimon menepuk pundak Lucas sebelum akhirnya meninggalkan kami berdua.
“Apa masih panas?” Lucas membantuku memasukkan sebelah kaki ke ember.
“Sudah mending.” Namun, ketika melihat ke dalam air, dari lutut ke bawah berubah menjadi warna merah gelap. “Ka-kakiku kenapa?”
“Apa yang terjadi?!” Lucas segera mengeluarkan kakiku dari ember. “Aku harus segera menelepon ambulans, dokter kenalan Shimon terlalu lamban.”
Belum sempat Lucas menelepon ambulans, Shimon muncul dari balik pintu dengan wajah pucat. “Tampaknya terjadi kekacauan di luar! Baik dokter kenalanku maupun ambulans, tidak akan bisa tiba ke sini.”
“Apa maksudmu, Shimon? Jangan mengada-ada.”
“Aku serius. Kita sedang terjebak!”
KAMU SEDANG MEMBACA
Akhir Dunia
FantasySemua terlihat normal sampai lubang yang menyerupai gerbang neraka itu muncul di langit dan memuntahkan berbagai monster dengan wujud buruk rupa. Eve tak lebih dari perempuan pengecut yang takut kehilangan tunangannya. Dia bahkan tak pernah memikirk...