6 | End

17.1K 1.6K 322
                                    

Vote!

.

.

.

Seharian Bisma dan Dio menghabiskan waktu masing-masing. Bisma sibuk dengan pekerjaan kantor yang ia bawa ke rumah, sedangkan Dio rebahan sesuai rencana, tapi tidak dengan hati dan pikirannya.

Ini sudah pukul delapan malam, bahkan mereka juga makan siang dan malam di tempat terpisah, Dio di meja makan dan Bisma membawanya ke ruang kerja.

Dio menarik napas dalam, rasanya memang sialan sekali Bisma Pradipta Baskoro itu, satu detik bertingkah manis, satu detik bertingkah kejam mengintimidasi, kemudian berubah melembut lagi, lalu sekarang mendiami, benar-benar si ahlinya permainan perasaan. "Sialan,"

Di luar hujan, dingin dan segalanya terasa melembab, demi semua debit air langit yang turun mengguyur bumi, nuansa dan atmosfir seolah semakin memperparah keadaan hati Dio yang gamang dan bimbang ini.

Bergerak turun dari ranjang, Dio ingin membuat minuman hangat, mungkin kopi atau susu, atau teh hanya sekedar menghalau dingin, atau tepatnya menghalau perasaan bimbang atau sedih atau kesalnya, Dio tidak tahu.

Berjalan menuju ke dapur lalu pilihannya jatuh pada kopi, mungkin Bisma membutuhkannya sebagi teman lembur. "Bisma?" Dio mengerling, kemudian menggeleng heboh dan mengerejap. Dio tersadar hatinya baru saja tergerak untuk membuatkan Bisma kopi, artinya tanpa sadar dia perhatian.

"Nggak, gue buat ini untuk sendiri!" monolog Dio lagi sebagai pembelaan, takut jika ada yang menuntut penjelasan dan menyalahkan.

Hingga kopi itu siap, Dio segera membawanya hendak kembali ke kamar, tapi tepat di depan pintu kamar, langkahnya terhenti.

Matanya menyorot ke pintu sisi lainnya, di mana itu adalah ruang kerja Bisma. Antara yakin dan ragu, tapi dia malah bergerak ke pintu itu dan membukanya pelan tanpa mengetuk.

Jantungnya berdebar, bahkan mendadak kebas menyerang seluruh tubuh, pelan-pelan Dio tetap mendekat lalu meletakan kopi itu ke atas meja kerja Bisma. "Kopi," ucap Dio lirih dan canggung.

Namun Bisma seolah tuli dan berpura menganggap Dio tak nampak di matanya, pria berlesung pipi itu tetap sibuk menceklis lembar kertas dan sesekali menengok PC, acuh sekali.

Dio menelan ludah, ada ngilu yang segera harus ia tepis, "oke, gue mau tidur dulu," Dia memilih pergi dari ruangan itu.

Dio keluar menutup pintu, tidak tahu Bisma menyunggingkan senyum di balik punggungnya, bahkan hingga barisan giginya nampak pun cekung dalam di kedua pipinya semakin ambles lebih dalam dari biasanya dengan imbuhan kekeh kecil pun bahu bergetar.

Dio masuk lagi ke kamar Bisma, merebah lagi dan menarik selimut.

Hujan di luar semakin lebat, bahkan sesekali kilat menyambar dengan susulan gema guruh.

Hingga tiba-tiba Bisma juga masuk, menutup pintu lalu naik ke ranjang dan masuk ke dalam selimut yang sama yang Dio kenakan namun tetap memunggungi Dio seperti malam-malam sebelumnya.

Dio yang tadi berpura tidur itu kini menoleh, menatap punggung lebar Bisma yang meringkuk jauh di ujung ranjang sana.

Mengulum bibirnya sendiri, haruskah Dio mengucapkan kata terima kasihnya sekarang atau tidak sama sekali. Hingga—

"Astaga!" —Dio terlonjak dan langsung memeluk Bisma dari belakang begitu erat, lampu padam tepat saat kilat menyambar dan bunyi guntur memecah gendang telinga.

Bisma yang ternyata belum tertidur itu terkekeh. "Masih takut ujan dan petir, Dek?" Dan dia membalik tubuhnya untuk menghadap Dio. "Mas di sini bersamamu, di mana kamu boleh meluk Mas tanpa ragu dan malu sama teman-temanmu," Bisma balas memeluk Dio hangat dan lembut, sehangat dan selembut kalimatnya yang terdengar teduh di hati pun telinganya.

Bisma tahu Dio takut gelap, hujan petir dan guruh, karena pernah suatu hari di waktu dulu, saat mereka berdua kebetulan tidak membawa kendaraan dan harus naik bus umum, mereka duduk bersama di halte meski berjauhan.

Hari itu hujan, langit basah dan begitu gelap, bus tak kunjung datang, hingga suara guntur memecah gendang telinga Dio yang awalnya duduk di ujung bangku berlari mendekat, lalu mencengkeram erat lengan blazer Bisma. Dio takut dan hanya ada Bisma di sana. Membuat Bisma terkekeh, tapi malah mendapat umpatan kata kasar dan ancaman seperti biasa, begitu pedas tapi Dio tetap memeluk erat lengannya posesif.

Bisma tak apa, dia justru senang dapat mengetahui salah satu kelemahan Dio yang nampak angkuh dan kejam ini.

Saat itu hujan semakin lebat, dan cengkaram Dio di lengannya juga semakin kuat, sama seperti sekarang, di mana Dio semakin erat memeluk bahkan mengusakan wajah ke dadanya.

"Tak apa ... itu hanya hujan, okey?" Bisma mengusap-usap pelan punggung Dio.

Dio mengangguk.

"Sekarang tidur, Mas jagain kamu," Bisma semakin mendekap hangat tubuh Dio dalam pelukannya memberi nyaman.

Dio kembali mengangguk.

Bisma tersenyum, lalu mengecup puncak kepala Dio sayang dan lembut.

Dio dalam dekapan menelan ludah, dapat ia rasakan cinta itu begitu dalam dan tulus. Dapat Dio rasakan sebuah pelukan hangat dan begitu nyaman. Dapat Dio rasakan getaran yang sama sepeti sepuluh tahun yang lalu, perasaan cinta pertamanya pada Bisna yang mati-matian ia kubur dan tepis.

Dan sekarang Dio yakin, dia yang harus mengalah, menyingkirkan ego dan mengakhiri pertempuaran gila ini.

Dio ingin menerima dirinya sendiri, yang memang sudah kalah sedari awal, dialah yang pecundang, karena lebih memikirkan ucapan teman-temannya dan mengabaikan kebahagiaannya.

Dio akui, Dio mencintai Bisma, sangat mencintainya bahkan sebelum ia paham apa arti kata cinta itu sendiri, dan dia harus mengatakan ini. "Terima kasih,"

"Eung?" Bisma berdengung, kemudian sedikit mengurai peluk dan merunduk untuk dapat melihat wajah Dio di dadanya.

Pelan-pelan Dio juga mendongak. "Ma-maafkan aku, Mas ... dan terima kasih,"

Hingga satu lumatan basah di belah bibir bawah membuat Dio terpejam dengan menarik napas dalam. Dia tersenyum, kemudian mencengkeram krah baju tidur Bisma untuk dapat membalas lumatan itu lebih dalam.

Tidak ada yang menang atau kalah sekarang, tidak ada siapa yang jagoan dan siapa yang pecundang.

Dio membuka hati dan menerima diri. Dia akhiri ini, dia mencintai Bisma yang memang pantas untuk ia panggil Mas sebagai si pemilik hati.

_____selesai_____

An :

Udah emang segini doang, janji jangan minta nambah!
Suka cerita singkat ini? Follow sebagai bentuk apresiasi, oke?

I Love You

Tolong tetap sehat dan bahagia!

Sabtu, 5 November 2022

Dae_Mahanta

Special Thanks untuk mas Al semangkalegit yang udah nyiptain nama tokoh sekeren itu.

-Bisma Pradipta Baskoro
-Ardio Lintang Mahandi

MR. KINGSLEY [END] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang