Empat Puluh Satu

402 74 25
                                    

Hoseok

Baru kali ini Hoseok bisa cium aroma tidak menyenangkan dari kawannya. Menyengatnya asap rokok dan parfum milik salah seorang supervisor kantornya yang membekas di tubuh Jimin memunculkan asumsi baru. Kalau mereka mungkin sudah tidak bisa dikatakan teman lagi. Mungkin sesuatu terjadi setelah Puputan. Kejadian tidak mengenakkan itu bisa saja membuat keduanya semakin dekat dan mengaburkan batas pertemanan yang sudah keduanya sepakati.

Tubuh mungil Jimin duduk di tepi bale agung yang dibangun di dalam pura Puseh. Seusai sembahyang dan mengalunkan nada-nada dari gamelan, Hoseok menarik kawannya untuk ikut dengannya. Menikmati hidangan makan yang disediakan dan jajanan basah yang boleh diambil siapa saja. "Sudah makan ke?" tanya Hoseok sambil menyodorkan beberapa tusuk sate babi yang baru saja dibakar. Entah ini bakal menyamai rasa daging lain yang pernah pemuda itu makan atau tidak.

"Daging apa?" Jimin mengerjap-ngerjap lucu seolah keberadaannya tidak membuat Hoseok mengernyitkan dahi. "Babi?"

Hoseok mengangguk. Pasang manik matanya fokus pada satu gelang tridatu yang dikenakan kawannya. Kalau ia bisa punya kelebihan sama seperti Jimin, mungkin aroma badan Jeongguk sudah menyengat masuk menghancurkan paru-parunya. "Mau? Boleh, kan?" Dari lima tusuk, ia tarik salah satu supaya mudah untuk dicomot.

"Boleh." Jimin manggut-manggut. "Aku boleh makan daging apa saja, kok." Satu sate masuk ke dalam mulut pelan-pelan. Dikunyah dan dicermati. "Rasanya tidak beda dari daging sapi kalau dibakar begini."

"Coba je olahan yang lain, nanti. Biar tahu ke bedanya."

"Boleh juga," jawab Jimin sambil mengangguk setuju. Ternyata benar kata Jeongguk. Lelaki setengah naga itu pernah berkata kalau Jimin sering ia ajak mampir ke pura. Dari tabiatnya yang tidak kaget atau bertanya-tanya soal ini dan itu, mungkin Jeongguk sudah menjelaskan lumayan detail.

"Jeongguk masih sering merokok kalau sama ke?"

"Ya." Jawaban itu ala kadarnya. "Kenapa memangnya?"

"Ke ndak ikutan merokok juga, kan?"

Kepala berudeng putih hasil dari beli cepat-cepat yang penting dapat itu menggeleng. "Kalau aku meninggal karena sakit paru-paru, gimana? Dia, kan, enak hidupnya panjang."

Benar. Hoseok tidak bisa menahan diri untuk tidak menyemburkan tawa. Anak ini tahu betul posisinya yang manusia dan tidak terlalu bisa seliar Jeongguk. Kalaupun memang ia bisa mendekati sifatnya, tidak mungkin juga bisa bersanding dengan kebiasaannya yang tidak ada sehat-sehatnya.

"Tapi sekarang bisa, sih, kalau aku mau." Satu tusuk sate yang sudah ludes itu masih saja Jimin jilati. Mungkin bumbunya memang seenak itu.

"Maksudnya?"

"Kalau sekarang, aku bisa saja merokok kalau aku mau."

"Maksudnya?" Hoseok gemas. Ia panjang-panjangkan satu kata itu saking kesalnya. "Maksudnya kamu bisa seenak jidat buat menghancurkan kesehatan kamu sendiri karena sudah dekat sama Basuki, begitu?" tanyanya.

Jimin kembali menggeleng.

"Terus?"

"Rahasia."

"Kleng," umpat Hoseok. "Ke main rahasia-rahasiaan sama aku, sekarang."

"Bercanda, Hoseok." Jimin terkekeh. Rasanya sudah lama sekali ia disuguhkan pemandangan langka bernama senyuman Jimin. Selama yang ia tahu, setelah memutus hubungan dengan Eunwoo, keseharian pemuda itu cuma diisi dengan murung, merenung, atau khawatir sama hal-hal yang sejatinya belum kejadian. Rasanya melegakan sekaligus membuatnya ingin membalas kilasan senyum manis itu.

DewanandaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang