Bab 1

142 20 19
                                    

Tampak seorang perempuan berdiri dengan mengenakan seragam sekolah di depan gerbang. Kedua tangannya memegang tali tas yang melekat di punggung. Kepalanya terus menyembul ke arah jalan raya yang tidak terlalu padat.

Raut wajahnya terlihat kesal, beberapa kali embusan napasnya terdengar, beriringan dengan mobil-mobil yang melewatinya.

Sesekali ia mengentakkan kaki yang sudah mulai tidak nyaman berdiri. Pun kepala yang terus menengok ke belakang, area sekolah mulai lengang. Tinggal segelintir orang yang sedang berjalan ke arah luar.

"Kalau tahu begini, aku tidak perlu bertukar piket dengan ketua kelas," gerutunya pada angin yang berhembus melewati wajahnya.

"Luhan?"

Perempuan itu berbalik dan menemukan ketua kelas yang baru saja keluar dari area sekolah. "Ternyata ini kau. Kenapa belum pulang?"

"Sepertinya orang tuaku terjebak macet. Tahu begitu aku piket dulu," jawabnya cemberut dan merasa bersalah karena telah merepotkan laki-laki dihadapannya.

Laki-laki itu hanya tersenyum melihat tingkah Luhan. "Mau aku temani?"

"Tidak usah, ketua kelas. Kau duluan saja." Tolaknya tidak enak jika harus kembali melibatkannya.

"Tidak apa-apa. Aku temani sampai orang tuamu sampai. Lagi pula sekolah sudah mulai sepi, memangnya kau berani sendirian di sini?"

Luhan kembali mengedarkan pandangannya, raut wajahnya menunjukan kekhawatiran dan juga ketakutan.

"Maaf ya, lagi-lagi aku merepotkanmu."

Mereka berdiri bersisian di depan gerbang sekolah. Menunggu mobil jemputan Luhan yang masih saja tak kunjung sampai.

"Memangnya kau ada acara setelah pulang sekolah? Sampai meminta bertukar piket," tanya laki-laki itu memecah keheningan.

Luhan mengangguk. "Setiap weekend, aku dan keluargaku selalu pergi berlibur."

Laki-laki itu terlihat terkejut mendengar penuturan Luhan. "Setiap weekend? Kau serius?"

Dahi Luhan berkerut melihat ekspresi laki-laki di hadapannya. "Memangnya itu aneh, ya?"

"Tidak aneh. Hanya saja agak berlebihan menurutku."

"Bukankah itu sama saja? Tapi apa untuk seusia kita terlihat berlebihan buat liburan setiap weekend?" Luhan ingin tahu dari sudut pandang ketua kelasnya yang dijuluki kutu buku.

"Setahuku kebanyakan dari kita menghabiskan libur sekolah ... ya dengan hangout bareng teman."

"Yaiya, sih. Tapi aku rasa pergi berlibur bersama keluarga jauh lebih berkesan. Terlebih aku punya teman sebaya di rumah." Luhan menuturkan dengan rinci. Memberitahukan kalau apa yang ia dan keluarganya lakukan bukan sesuatu yang berlebihan, justru menjadi sesuatu yang istimewa menurutnya.

"Teman sebaya?"

Luhan tersenyum. "Iya, teman sebaya."

"Kau tinggal dengan saudaramu?"

Kali ini Luhan mengangguk. Tidak menjelaskan lebih detail tentang 'teman sebayanya'.

"Kenapa dia tidak sekolah di sini bersamamu kalau memang kalian sebaya?"

"Ketua kelas kenapa kepo banget, sih? Dia tidak mau sekolah di tempat yang sama denganku." Meskipun di awal Luhan mengatainya, tapi tetap memberitahukan alasan untuk jawaban atas pertanyaannya.

"Oh! Itu mobil orang tuaku," tunjuknya pada mobil yang menepi tak jauh dari tempat mereka berdiri.

"Terima kasih, ya, ketua kelas. Kau hati-hati pulangnya. Aku duluan."

LuminescenceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang