Porak-Poranda

410 55 6
                                    

Jungkook POV

Aku berdiri di luar rumah Taehyung, menatap ke lapangan. Terlihat jelas jejak pertempuran sengit di sana sebelum musuh diarahkan kembali ke dalam hutan.

Aku bisa mendengar suara perang;  teriakan pria dan wanita pemberani, lolongan dan geraman serigala, dan juga tembakan. Aku mengangkat tangan untuk menarik rambutku, menyadari bahwa aku gemetar dan aku mengepalkan tanganku untuk menghentikannya.

Aku takut.

Aku tidak tahu seperti apa akhir dari malam ini dan ini egois ketika aku terus berkata, "tidak apa-apa jika yang lain terluka, tapi jangan ayahku dan Taehyung". Jika mereka mati di luar sana maka aku akan mati bersama mereka.

Aku terkesiap saat merasakan sesuatu yang bergerak di sebelah kiriku namun menghela napas lega setelah tahu bahwa itu hanya penjaga. Sudah tiga puluh hari mereka berada di kamp ini untuk melindungi kami dan aku yakin mereka juga ingin bergabung dalam pertempuran yang sebenarnya.

Aku menatap ponselku untuk yang keseratus kalinya karena aku sudah mengirim pesan pada Yibo dan juga meneleponnya, namun dia masih belum menjawab. Kami membutuhkan bantuannya dan aku takut dia akan tiba di sini saat semuanya sudah terlambat.

"Kookie, jangan diluar, ini sudah malam!" ibuku berteriak.

"Tidak apa-apa ibu," aku balas berteriak.

Jika aku tetap berada di dalam rumah itu lebih lama lagi, aku akan gila. Aku merasa seolah aku harus berada di medan perang setidaknya mencoba untuk membantu, bukannya terjebak di sini dengan perasaan khawatir. Aku merasa sangat tidak berdaya dan aku berharap semua ini segera berakhir.

Lima menit kemudian, aku berjalan di sepanjang trotoar melewati rumah-rumah lain di kamp dan hampir setiap rumah yang aku lewati penuh sesak dengan anak-anak yang terluka.

Aku bisa mendengar tangisan, erangan dan tawa ceria anak-anak saat aku berjalan dan hatiku semakin hancur. Aku tidak pernah membayangkan bahwa hal seperti ini bisa terjadi pada kami, rasanya seperti mimpi buruk yang berubah menjadi kenyataan.

Aku terus berjalan, tenggelam dalam pikiranku sehingga aku tidak menyadari seberapa jauh aku telah berjalan sampai aku berada di dekat rumah Mingyu. Aku berhenti sejenak dan menatap ke halaman rumahnya. Pintunya tertutup dan tak ada cahaya lampu yang keluar dari celah jendela. Rumah itu tampak sama dinginnya seperti sebelum mereka datang.

Aku masih merasa bersalah atas apa yang terjadi. Saat aku kembali, setelah berminggu-minggu pergi bersama Yibo, ibuku memberi tahuku bahwa mereka sudah pergi. Mereka telah pergi bahkan sebelum aku sempat memperbaiki hubungan di antara kami dan aku akan selalu menyesalinya. Aku menggelengkan kepalaku dan melanjutkan langkah.

Seorang penjaga berdiri di sekeliling kamp, dengan pistol besar di tangan, yang langsung aku kenali dari koleksi ayahku.

"Akan lebih aman bagi Anda di dalam, Tuan," ujarnya padaku dan mataku melebar.

Butuh waktu yang lama hingga aku menyadari bahwa dia memanggilku 'Tuan' karena dia sekarang tahu bahwa aku adalah mate Alpha, yang berarti dia harus menunjukkan rasa hormat yang sama kepadaku seperti yang dia tunjukkan pada Alpha.

Hatiku berbunga-bunga terlepas dari nada suaranya yang serius. Ternyata seperti ini rasanya dihormati oleh orang lain.

Aku mengangguk mengerti pada penjaga dan berbalik untuk kembali ke rumah Taehyung, namun aku baru mengambil sekitar enam langkah ke arah yang berlawanan ketika terdengar sebuah suara tembakan.

Biasanya pada saat situasi seperti ini kita akan secara refleks berlari, tapi mengingat bahwa aku tidak cukup waras, aku justru berbalik dan melihat penjaga yan berbicara denganku sebelumnya jatuh ke tanah, pistolnya terlepas dari tangannya dan meluncur di sepanjang kerikil hingga berhenti di kakiku.

Tanpa pikir panjang, aku mengambil senjata dengan kedua tanganku dan mengarahkannya ke penyerang itu, melihatnya mendekati penjaga. Penjaga itu masih hidup; dia mencoba merangkak menjauh sambil menekan tangan ke area luka di perutnya.

Aku tidak berpikir untuk melarikan diri, bersembunyi atau meminta bantuan, aku hanya memegang senjata seperti yang diajarkan ayahku ribuan kali, mengarahkannya ke musuh yang bahkan belum menyadariku berdiri di kejauhan dan menembak. Tembakan itu membuatku jatuh ke tanah, tapi tidak sebelum aku melihat orang itu jatuh seperti batang kayu. Aku meringis, bangiit dari tanah dengan cepat.

Orang yang aku tembak sedang berbaring telentang, napasnya terengah-engah saat darah merembes melalui mulutnya. Aku menyaksikan dengan ngeri saat dia menghembuskan napas terakhirnya hingga menjadi bangkai yang tidak bergerak.

"Anda telah menyelamatkan hidupku," penjaga yang tertembak berbisik dari tempat dia berbaring. Dia menatapku kaget, matanya melebar tidak percaya. "Terima kasih," ujarnya lagi.

Sekarang orang-orang mulai keluar dari rumah ketika mereka melihat kami di jalan.

Aku mengalihkan pandanganku darinya sekali lagi untuk melihat orang yang sudah meninggal itu, tapi aku tidak merasa bangga pada diriku sendiri karena mengakhiri satu nyawa demi menyelamatkan satu nyawa yang lain. Aku merasa mual dan berlari ke semak-semak untuk muntah. Aku muntah dengan air mata mengalir di pipiku.

TBC

Next part, update besok di jam yang sama💜

Alpha In LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang