02. Tanpa Tergesa

303 26 9
                                    

Segerombol orang yang datang memakai jas hitam mengkilat juga celana yang disetrika kaku hingga jejak pelicinnya tercetak jelas itu menghampiri Mile, menyalami pemuda itu dengan beberapa kalimat belasungkawa.

"Pak Mile, kami turut berduka cita." Ucap salah satunya, menjabat tangan Mile lalu merengkuhnya dalam sebuah peluk formalitas. Dari balik bahunya, orang itu berkata. "Selamat ya, akhirnya tiba waktunya bagi anda." Lalu melepas rangkulan dan melenggang menyalami anggota keluarga yang lain.

Mile tersenyum kecut lalu menatap sekelilingnya. Gedung yang dipakai sebagai rumah duka itu sebenarnya terlalu megah dan mewah untuk menyelenggarakan acara belasungkawa. Tapi mau bagaimana lagi, yang meninggal adalah Sofyan Brawijaya, ketua umum sekaligus pemilik utama dari Brawijaya Group; yang tak lain adalah mendiang kakeknya Mile.

Ruangan itu ramai riuh rendah oleh orang-orang yang berpakaian serba hitam. Ada begitu banyak, terlalu banyak malahan. Mile sampai pusing sendiri melihatnya. Tapi dia tahu, diantara ramainya orang-orang yang datang hari itu, yang memasang wajah duka cita, Mile tahu benar kalau yang benar-benar berduka di sana hanyalah segelintir orang saja.

Mile menatap ibunya yang masih sibuk menjamu orang-orang yang datang, ia juga melihat bibinya hilir mudik menyambut tamu yang datang, sementara paman dan ayahnya berada di depan sana, tepat di sebelah peti mati sang kakek. Mile menghela napas, lalu menghampiri neneknya yang berada di sudut ruangan. Perempuan tua renta itu duduk di kursi roda, kakinya lemas tidak mampu berdiri. Terlalu shock dengan kabar kematian suaminya. Padahal seminggu lalu, beliau masih baik-baik saja dan tidak butuh kursi roda sama sekali, karena meskipun sudah sepuh, neneknya masih segar bugar. Tapi hari ini, dia terkulai tidak berdaya dengan pandangan kosong.

" Eyang, sudah makan? biar Mile ambilkan makanan, ya?" Mile berlutut di hadapan neneknya, sosok yang selalu dia kasihi setiap hari.

Eyang putrinya menggeleng. "Eyang sudah makan kok nak." Jawabnya dengan senyum alakadarnya.

Mile tahu, senyum itu palsu. Eyangnya belum makan apapun sejak pagi tadi. Memang, sejak seminggu lalu kakeknya yang tiba-tiba pingsan akibat serangan jantung, lalu dirawat di rumah sakit selama enam hari itu, dini hari tadi menghembuskan napas terakhirnya. Itu artinya, neneknya ini sudah tidak makan dengan teratur selama seminggu. Itulah kenapa perempuan paruh baya ini terduduk lemas di kursi roda. Mile hanya menghela napas.

"Eyang jangan begitu, nanti Kakek sedih kalau tahu eyang ga makan teratur." Mile mencoba memberi pengertian. Bagi Mile sendiri, neneknya merupakan sosok ibu yang lain, karena sejak kecil dia selalu ditinggal orang tua nya yang sibuk bekerja, dititipkan pada naneknya.

"Eyang!! Lihat aku bawa apa?~~" Sebuah suara menginterupsi percakapan keduanya. Mile menoleh, dan mendapati sepupunya, Bisma.

Neneknya tersenyum menyambut cucunya yang lain. Sementara Mile menatap sengit adik sepupunya. Mile dan Bisma tidak pernah benar-benar terlibat permusuhan sebenarnya. Melainkan orang tua mereka masing-masing.

Para orang tua kerap kali membanding-bandingkan anak-anak mereka seperti di kompetisi, apalagi kalau di depan sang kakek dan nenek. Itu karena sudah digadang-gadang, kalau yang akan menduduki jabatan sang kakek selanjutnya, adalah cucunya. Bukan anaknya.

Sofyan Brawijaya menikahi Sriwedari, dan memiliki dua orang anak dari hasil pernikahan itu. Reihan Brawijaya dan Anita Brawijaya. Reihan menikah dengan Intan Lembata dan dikaruniai satu orang anak, yang tak lain adalah Milendra Brawijaya. Sedangkan Anita, menikah dengan lelaki keturunan Korea Selatan, Lee Minho. Memiliki satu anak yang tak lain adalah Bisma Brawijaya, Anita dan keluarganya menetap di Surabaya, mengelola bisnis travelling mereka.

SNOW ON THE BEACH (MILEAPO FANFICTION)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang