v. Harga Mahal yang Harus Dibayar

219 34 1
                                    


Sinar matahari mengusik tidurnya tapi dia merasa kepalanya masih sakit. Soonyoung masih berusaha untuk memfokuskan pandangannya. Dari bebauan obat yang tidak lagi asing, ia menyadari kini sedang berada di ruang kesehatan. Tidak ada orang di sini sebelum Mingyu datang dan menyadari bahwa Soonyoung telah terbangun, ia segera menghampirinya.

"Yang Mulia, apa kau sudah tidak apa-apa?"

Soonyoung berusaha duduk dibantu Mingyu. Dirinya merasa jauh lebih baik meski dadanya terasa dingin. Ia segera menganggukkan kepalanya dan Mingyu memberinya air. Sudah berapa lama dia pingsan sampai mulutnya kering seperti ini?

"Kami langsung membawamu ke klinik, dokter bilang tubuhmu kecapean. Kau sudah pingsan dua hari. Yang Mulia, jangan terlalu memaksakan diri."

Beberapa hari belakangan memang tidak mudah mengingat masalah udara panas dan politik yang beriringan. Mingyu jarang terlihat beberapa waktu belakangan ini. Pasalnya, dia dan Jihoon terus mencari cara untuk mengatasi krisis yang sedang menghampiri mereka entah dalam waktu yang dekat maupun dalam jangka waktu yang lama. Jihoon bilang para akademisi mulai ribut dan rapat dilaksanakan lebih sering dari biasanya. Belum lagi, tiba-tiba gubernur mengajukan diri terkait masalah pangan. Sepertinya terjadi kontradiksi di mana-mana.

Soonyoung menyadar seseorang tidak ada bersamanya langsung bertanya dengan menggebu, "di mana Wonwoo?"

Wajah Mingyu mengeras. Ia sadar bahwa Mingyu belum bisa menerima Wonwoo dengan identitas barunya. Mungkin wajar mengingat kejadiannya belum beberapa lama. Mingyu pasti terkejut.

"Dia tidak muncul di Istana selama dua harian ini. Aku tetap mencurigainya tetapi dia bilang aku harus menjagamu sampai kau sadar dan dia menitipkan pesan bahwa Yang Mulia tidak akan pernah sakit lagi. Aku mengamini bagian terakhir."

Aneh, rasanya seperti bukan Wonwoo saja. Tetapi dia benar-benar merasa lebih baik dari sebelumnya. Nyeri di dadanya juga hilang meski digantikan rasa dingin yang sejuk. Meskipun tubuhnya kini berkeringat, tapi dia berangsur-angsur membaik. Akhirnya, dia kembali ke kamarnya dengan catatan beristirahat total. Malamnya dia tidak bisa tidur dengan nyenyak dan terpaksa bangun dengan napas terengah.

'Wonwoo, kau di mana?' tanyanya dalam hati. Pergelangan tangannya berdenyut dan pola garis takdirnya semakin jelas. Akhirnya dia kembali tertidur dan bangun telat. Mingyu membawakannya beberapa obat sebagai vitaminnya, jaga-jaga jika tubuhnya kembali ambruk.

"Oh iya, Jihoon bilang dia ingin melaporkan beberapa hal, apakah tidak apa-apa? Kalau Yang Mulia masih merasa tidak baik, aku akan memintanya untuk mengundurnya," ujar Mingyu sebari merapikan kamar Soonyoung.

Soonyoung yang merasa bosan tentu tidak keberatan, apalagi dia belum mendapat kabar apapun selama beberapa hari. "Tentu saja boleh, siang ini di ruang utama."

"Baik. Akan disampaikan, Yang Mulia."

Mingyu berjalan menuju pintu sebelum berbalik, "oh iya, Yang Mulia. Teh chamomilenya mau dihangatkan, tidak?"

Pangeran muda itu menoleh ke arah meja kecil di samping tempat tidurnya. Sebuah teko dan gelas kecil yang berisi teh chamomile dengan dua bunga kecil yang menghiasinya.

"Tidak perlu," ujar Soonyoung sendu. Sepertinya dia tidak perlu bertanya siapa yang mengirimnya. Mingyu mengangguk dan melenggang pergi.


༊*·˚


Pemuda itu kini berpenampilan lebih segar dan bersiap menemui Jihoon di ruang diskusi utama lantaran membawa beberapa orang bersamanya. Jas putih yang berbalut mutiara merah terasa pas di tubuhnya dan Mingyu memujinya karena sekian lama Soonyoung tidak berpakaian formal, akhirnya dia mengenakan pakaian formal yang telah disimpan lama. Iya ya, kalau dipikir-pikir semenjak statusnya dicabut dulu, dia menolak untuk memakai pakaian formal atau sekadar baju mewah. Sedikit nostalgia pada masa-masa kelamnya dulu, Soonyoung kini lebih percaya diri dengan gaya yang lebih rapi.

[Soonwoo] The Last MagicTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang