iii. Sebuah Perjalanan

220 34 2
                                    


"Ada harga yang harus dibayar mahal untuk suatu tanggung jawab yang besar. Yang Mulia memilihnya ketika dia beranjak dewasa, bersama Cendekiawan Jeon di sisinya."


༊*·˚


Soonyoung semakin mengenal Wonwoo dan segala sesuatu yang berhubungan dengan sihir. Dia tidak lagi mengeluh soal pelajaran yang diterimanya. Namun, hasrat untuk kabur itu selalu ada dan niat untuk menjahili Wonwoo tidak akan pernah habis. Pernah dia berpura-pura keracunan dan Wonwoo dengan panik membuat barang di sekitarnya melayang dan Soonyoung harus bangkit dan lari sebelum Wonwoo melakukan sesuatu dengan tubuhnya lewat sihirnya.

Ada untungnya juga Soonyoung mengetahui sihir Wonwoo. Bersama dengan Soonyoung dia merasa bebas. Jiwanya serasa terbang bebas. Efek sihir yang telah ditekan lama sehingga ketika dia menggunakannya hanya untuk hal-hal sepele terkadang bisa membuat kekacauan lebih besar dari yang diekspektasikan. Nyaris dia meledakkan kamar Soonyoung jika Soonyoung tidak nekat mencium bibirnya untuk membuat pikirannya teralihkan. Keduanya sempat canggung satu sama lain tapi hal itu berlalu begitu cepat dan masa-masa pelajaran mulai berakhir.

Tidak terasa mereka saling mengenal hampir dua tahun lamanya. Dulu, jika Soonyoung memiliki berbagai cara agar Wonwoo menyerah menjadi pembimbingnya, kini Soonyoung akan menahannya agar keduanya bisa bermain-main dengan sihir Wonwoo. Soonyoung juga baru mengetahui bahwa kekuatan sihir bisa menjadi kuat jika seseorang mempercayai sihir mereka. Semakin banyak yang mempercayai mereka, semakin kuat juga sihir mereka. Namun dia meragukan Wonwoo. Sihir Wonwoo terlampau kuat walau hanya dia yang mengetahuinya.

Dia juga mengetahui setiap jenis sihir yang dikuasai Wonwoo. Sihir dasar yang harus dikuasai penyihir adalah sihir alam, semua elemen asli dari tanah yang mereka pijak. Api, angin, air dan tanah. Wonwoo menguasainya kala usianya masih dua belas tahun. Setelahnya dia berfokus pada sihir pribadinya dan yang paling sering dipakainya adalah telekinesisnya. Dia suka sekali melakukan sesuatu tanpa menyentuhnya, membiarkan barang-barang itu beterbangan di sisinya. Soonyoung suka sekali meminta pemuda Jeon itu untuk membuat dirinya melayang, seolah dia berenang di udara. Tentunya itu hanya dilakukan di kamar pribadinya.

Mereka juga berlatih menunggangi kuda dan mengingat kejadian terakhir nyaris membuat kepalanya hancur, Wonwoo harus menjaga ekstra Soonyoung ketika pemuda itu dengan bebas mengendarai kudanya mengelilingi lapangan Istana selatan. Wonwoo menyusul Soonyoung yang semakin jauh, takut-takut terjadi sesuatu padanya. Perjalanan mereka agak jauh dan Wonwoo menyadari mereka sedikit jauh dari bangunan Istana.

Ternyata Soonyoung sampai pada sebuah benteng yang sudah runtuh, bekas masa-masa perang mungkin, Wonwoo menebak. "Aku baru tahu ada benteng runtuh seperti ini," ujarnya ketika turun dari kuda dan berjalan menuju Soonyoung yang menyentuh tembok benteng yang sudah tertutupi lumut basah. Jika Wonwoo bukan seorang pengamat, maka dia akan melewatkan aksara-aksara asing yang terukir di sana.

"Sumeria. Salah satu bahasa tertua di dunia," ujarnya sambil menyingkirkan beberapa dedaunan dan lumut yang bersarang di sana. "Di sini mereka menulis nama-nama kota, sungai-sungai, dan nama Raja-Raja mereka."

Wonwoo memperhatikan aksara-aksaranya dengan teliti, lumayan sebagai bahan uji coba belajarnya. "kau bisa membacanya?"

Soonyoung hanya menggeleng, "ini bahasa mati. Tidak banyak arsip tentang mereka yang aku tahu, mungkin di perpustakaanmu ada. Jika Ibuku masih hidup, dia pasti sudah gencar mencari semua artinya."

Cendekiawan Jeon tersenyum sembari melipat gulungan bajunya, "Yang Mulia Ratu selalu ingin tahu ya."

Soonyoung tertawa membenarkan. Dia lagi-lagi merindukan ibunya. Kemudian keduanya menyusuri tembok-tembok itu pelan ketika Soonyoung mulai bertanya, "apakah para penyihir merapalkan mantra-mantra?"

[Soonwoo] The Last MagicTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang