Abim bergegas ke kantin, beberapa waktu lalu Bintang mengabarinya jika Mavi datang ke kampus mereka. Dia sendiri tahu, Mavi ke kampus mereka mungkin karena menemani Aurhea. Seminggu terakhir dia memang tidak bertemu teman-temannya, lebih sibuk pada dirinya sendiri juga pada Vanya. Mereka kebetulan punya projek yang harus di selesaikan di salah satu mata kuliah yang mereka pilih.
"Wah udah rame aja, sorry nih jadi nungguin gue. Eh, kebetulan ada lo, Vi. Kenalin dulu, ini Vanya. Temen gue. Gue ajak dia soalnya tadi abis ngerjain projek bareng buat mata kuliah." Jelas Abim begitu sampai di meja yang ditempati teman-temannya.
"Vanya," sapa Vanya memperkenalkan diri pada Mavi sambil mengulurkan tangannya.
"Mavi," balas Mavi menjabat tangan itu.
Keduanya duduk bersebelahan, sementara itu Renjana yang melihatnya hanya tersenyum kecil sambil menunduk. Rhea yang melihat itu ikut sedih, dia menepuk paha Renjana pelan, memberikan dukungan semampunya pada saat itu. Renjana menoleh, dan membalas tatapan Aurhea padanya, menyampaikan terimakasih lewat tatapan itu.
"Wah, jadi lo yang namanya Mavi. Abim beberapa kali cerita soal temennya yang kuliah di luar negeri. Itu lo kan?" Tanya Vanya mencoba berbaur, karena sepertinya beberapa orang disana terlihat tidak nyaman dengan keberadaannya.
Mavi tersenyum dan mengangguk sebagai jawaban. Sebenarnya dia juga menyadari jika sepertinya Abim keterlaluan dalam bersikap, dia bahkan tidak menatap Renjana sedetikpun.
"Oh iya, ambil jurusan apa?"
"Arsitektur," bukan Mavi yang menjawab, suara itu berasal dari Aurhea. Aurhea tahu jelas, Mavi tidak suka orang baru menanyakan sesuatu yang sebenarnya bisa saja dia sudah tahu sebelumnya dari orang lain.
"Aaaa, gitu." Tidak banyak bertanya lagi, akhirnya memilih diam. Vanya tidak tahu kenapa orang-orang di sana menatapnya dengan pandangan tidak suka, selain itu Vanya juga merasa terintimidasi oleh tatapan mereka.
"Udah, jangan banyak nanya dulu. Gue mau makan, lo pada udah makan?" Kini giliran Abim yang angkat bicara. Sebenarnya dia juga merasa jika teman-temannya mendadak berperilaku aneh padanya sekarang, juga pada Vanya.
"Udah, Bim. Lo kelamaan, Aur punya asam lambung. Kalau telat makan nanti dia sakit." Jawab Mavi.Abim mengangguk, jelas saja mereka pasti makan lebih dulu. Mavi tidak mungkin membiarkan Rhea telat makan, walaupun itu satu menit. Temannya itu jelas sekali akan merawat Rhea sebaik mungkin. Tipe laki-laki yang akan selalu meratukan perempuannya.
"Bim, gue pamit deh yaa. Ada urusan juga." Ucap Vanya. Vanya tidak tahan pada tatapan intimidasi dan ketidak sukaan teman-teman Abim, terutama Vano. Laki-laki itu secara terang-terangan menatap benci pada Vanya, padahal Vanya merasa tidak pernah membuat masalah pada laki-laki itu, entah apa salahnya pada Vano.
"Loh? Lu belom makan siang. Makan dulu!" Cegah Abim. Dia menarik lengan Vanya yang hendak meninggalkan meja itu.
Brakk...
Bukan, itu bukan Vano. Gebrakan meja itu berasal dari Kevin. Bahkan Mavi yang biasanya tenang, sekarang terkejut karena gebrakan itu. Sementara Kevin langsung meninggalkan mereka tanpa mengatakan sepatah katapun.
Mavi menghembuskan napasnya tenang, berusaha meredam emosi yang sejujurnya dia ingin sekali memukul Abim dengan kruknya sejak Abim datang dengan perempuan lain tadi. Bisa-bisanya dia membawa perempuan lain sambil bergandengan tangan, sementara pacarnya disini dia abaikan.
"Tuh orang kenapa dah?" Tanya Abim, tidak melepaskan tangannya yang menggenggam pergelangan tangan Vanya.
"Mules," jawab Sandra asal. Dia juga sejak tadi berniat memukul Abim, tapi ditahan Rhea.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rumah Tak Bertuan [SLOW UPDATE]
Fiksi RemajaAbimantrana, seorang anak remaja akhir. Mahasiswa baru di sebuah universitas swasta terbaik yang ada di kota. Hidupnya mungkin terlihat tanpa beban, tapi jauh dari yang orang lain pikirkan dia menyimpan lukanya sendiri. Hanya orang-orang yang sudah...