Part 2

531 64 11
                                    

Semenjak kejadian pagi itu, Barram menghabiskan waktunya dikamar tanpa bergeming sedikitpun.

Ia masih terkejut dengan apa yang diucapkan Arjun tadi pagi.

Rasa tidak percaya, kecewa, marah, sedih bercampur menjadi satu.

Ia tidak percaya dengan ucapan Arjun. Tentu, atas dasar apa ia harus percaya kepada orang yang bahkan tidak dikenalnya itu?

Namun, fakta bahwa kedua orang tuanya yang meninggalkannya tanpa kabar hampir seminggu ini, membuatnya ragu dengan keyakinannya itu.

Kalau memang hal itu benar adanya, kenapa harus dirinya yang dikorbankan? lalu, kenapa dirinya yang dijual? maksudnya, akan diapakan ia setelah dijual?

Semuanya terasa kian mengganjal ketika ucapan sang ibu yang tiba-tiba terputar bagai kaset rusak.

Ucapan yang seperti memberi nasihat paten kepadanya untuk bersiap-siap menghadapi orang baru.

"Gak mungkin."

Kalo emang yang dibilangin dia gak bener, terus kenapa Papa Mama ninggalin aku? Apa alesannya? Mereka bahkan gak ngasih kabar sedikitpun. Kenapa mereka ngebiarin rumah kita disita? Kenapa?

Barram mengepalkan kedua tangannya hingga buku-buku jarinya memutih. Sakit rasanya batin melawan fakta.

Meski begitu, jauh didalam lubuk hati Barram, ia masih menyimpan sedikit ketidakpercayaan. Maka dengan itu, lelaki berusia 20 tahun tersebut pun memilih untuk bangkit dari atas ranjangnya dan beranjak menuju ketempat dimana dirinya bertemu dengan Arjun semalam.

Semakin cepat langkahnya, semakin memuncak pula emosinya. Momen kebersamaan dan kasih sayang kedua orang tuanya selama ini membuat Barram memilih untuk mempercayai mereka secara telak.

Nanti, setelah ia memaparkan ketidakpercayaannya, ia akan pergi dari sini. Tidak peduli kalau dirinya akan berakhir luntang-lantung diluaran sana.

Ia akan mencari kedua orang tuanya.

Cklek.

Grep.

"Mau kemana kamu?"

Ketika Barram baru saja hendak membuka kenop, tiba-tiba ia dikejutkan oleh seseorang yang menahan pergelangan tangannya.

Jeff, yang kebetulan tengah melewati ruangan Arjun, terkejut melihat Barram yang hendak masuk ke ruangan sang bos. Langsung bergerak menarik anak itu.

"Aku mau masuk ke dalem." jawab Barram singkat.

Srek.

Takut kalau Barram akan kembali membuka kenop, Jeff pun menarik kuat tangan Barram agar lelaki itu menjauh dari ruangan yang paling disegani.

"Untuk apa?" tanyanya dingin.

"Ada yang mau aku tanyain."

"Tidak diperbolehkan. Silahkan bicara sama saya."

Barram mengerutkan keningnya dalam-dalam. Tidak terima.

"Kenapa? Kenapa gak boleh?" tanyanya menantang. "Ada banyak yang mau aku tanyain ke dia. Aku gak percaya kalo Papa ngelakuin itu. Mana ada orang tua yang kayak gitu? Papa sayang aku. Aku lebih percaya kalo kalian udah ngelakuin sesuatu, daripada Papa ngelakuin apa yang dia bilang."

Cklek.

"Menurut kamu begitu?"

Bukan, bukan Jeff yang menjawab, melainkan Arjun.

Sejak Barram memutar kenop pintu ruangannya tadi, Arjun tengah menyesap sigaretnya didalam langsung bergerak mendekat. Namun, ia sengaja diam. Membiarkan Barram mengatakan apa tujuannya untuk menemui dirinya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 19, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

OBEYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang