4. He thought it was a dream

438 50 9
                                    

Memasuki akhir musim gugur, cuaca di luar pun makin dingin dan akhirnya turun hujan deras. Junkyu sedang merapikan kamarnya sore ini karena Haruto akan mampir. Sekarang Junkyu punya rutinitas baru yang ia lakukan bersama Haruto. Sehabis aktivitas sekolah, mereka akan menghabiskan waktu membaca buku dan menulis laporan, biasanya mereka duduk di perpustakaan atau di taman.

Kali ini, karena cuaca tidak memungkinkan, Junkyu memutuskan untuk di kamar saja. Sebenarnya mereka bisa belajar di ruang rekreasi, tetapi biasanya penuh oleh senior-senior.

Ruto, nanti langsung masuk saja. Aku gak kunci pintu, kok.

Oke. Tunggu sebentar!

Saat Junkyu merasa kalau kamarnya sudah oke, ia berbaring, lalu menghela napas pelan. Terkadang hatinya suka berdegup kencang tak karuan kalau sudah bertatapan mata dengan Haruto. Ia memang sudah menyukai Haruto sejak awal melihatnya, tetapi ia tidak menyangka kalau dirinya bisa jadi sedekat ini.

Karena rumor yang beredar di sekolah, Junkyu mulai lupa akan perasaannya kepada Haruto. Lagi pula, Haruto itu anak presiden, dia pasti tidak akan berteman dengan sembarang orang. Namun, ternyata dirinya salah. Faktanya, ia satu-satunya anak di sekolah yang paling banyak menghabiskan waktu dengan Haruto. Yah, Jihoon dan Yoshi juga termasuk, tetapi Haruto lebih terbuka dan ramah kepadanya saja.

Ia merasa spesial, tetapi di lain sisi, Junkyu tidak mau terlalu berharap. Mungkin hanya dirinya saja yang merasa seperti itu. Haruto itu hanya butuh waktu sebelum terbuka kepada anak-anak lain. Cepat atau lambat, Junkyu bukanlah teman dekat Haruto satu-satunya.

"Junkyu, kamu tidur?"

Suara bariton Haruto terdengar dari ujung kasur. Nadanya tampak seakan ia menahan tawa. Junkyu mendengus, "Maunya, sih. Cuacanya enak," ia pun menguap tanpa sadar. Haruto menyeringai melihat Junkyu, lalu duduk di ujung kasur, di sebelah kaki panjang Junkyu. "Kalau gitu, hari ini kita cukup baca satu bab, terus lanjut besok dari pagi. Gimana?"

Junkyu menggumam setuju. Dalam hati, ia memuji Haruto karena berbeda dari wajahnya yang dingin, Haruto itu hatinya hangat. Dia selalu perhatian, dan juga lembut. Mungkin orang-orang yang Haruto abaikan itu karena mereka belum kenal saja. Ia pun sedikit merasa bersalah karena sudah sering menggosip tentang 'kengerian' Haruto.

Selang sepuluh menit membaca hanya dengan ditemani suara hujan, Haruto juga ikut menguap. "Ruto, sini baring di sebelah," Junkyu menepuk kasurnya yang luas itu. Dirinya tidak tega melihat Haruto yang duduk tanpa sandaran. Meski suaranya terdengar santai, hatinya berdetak kencang. Batinnya sedang berperang, berusaha menyakinkan kalau ini adalah tindakan yang wajar. Toh Yoshi pernah tidur bersamanya juga karena ia mimpi buruk. Ya, Haruto pasti tidak curiga.

Haruto tampak agak bimbang, tetapi akhirnya mengiakan. Mereka berdua memiliki gaya yang sama; berbaring telentang, lalu membaca buku. "Eh, Junkyu. Omong-omong, kamarmu sepi, ya. Kamu gak pasang dekorasi apa-apa?"

"Gak. Aku lebih suka yang minimalis," Junkyu menjawab santai, sambil membaca di halaman bagian kiri buku.

Haruto terkekeh, "Ah, ini memang kamu banget. Sukanya simpel, dan gak ribet."

"Kamu memangnya dekorasi kamar?" Junkyu bertanya sambil menolehkan kepalanya ke kanan. Wow, Haruto dari dekat begini ketampanannya bukan main! Hidungnya mancung, dan kulitnya mulus tanpa ada noda sedikit pun. Belum lagi bulu matanya yang panjang.

Haruto tidak menoleh ke arahnya, dan hanya fokus menatap buku. "I-iya," ia menjawab terbata-bata, "Kamu mau lihat?"

"Boleh?"

"Boleh."

Junkyu tersenyum lebar dan kembali fokus ke bacaannya sendiri. "Oke, tunggu mood-ku bagus, ya." Haruto tertawa rendah dan menyenggol pelan bahu Junkyu dengan bahunya sendiri. "Dasar. Benar kata Jihoon, kamu terlalu suka di dalam kamar."

[HaruKyu] Is This Love?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang