Satu

118 17 4
                                    

"Apa kau sudah yakin dengan pilihanmu?" seorang gadis bersurai coklat memuntahkan pertanyaan yang semenjak tadi sudah berada di ujung lidahnya.

"Aku tidak pernah seyakin ini dalam hidupku." jawaban yang terdengar monoton itu mengudara.

Gadis bersurai coklat bungkam. Ia tidak bisa berbuat apapun jika sahabatnya sudah mengatakan kesiapannya. "Padahal kau bisa mundur agar tidak menyesal di kemudian hari, Mikasa."

Gadis yang dipanggil Mikasa hanya memamerkan senyumnya tak berniat untuk menanggapi. Mungkin, jika dirinya memiliki pilihan maka mundur yang akan ia pilih. Namun saat ini dirinya tak memiliki pilihan untuk bisa mundur.

"Aku hanya tidak ingin kau rusak sepertiku." gumam gadis bersurai coklat.

Mikasa terkekeh. Hidup sudah terlalu sulit untuknya. Menjadi orang benar dalam keadaan yang mencekik sudah membuat akalnya buntu. Ia butuh uang banyak untuk bisa bertahan hidup dan bertahan dari kejaran rentenir.

"Jika aku tetap bertahan menjadi orang suci maka perharinya yang bisa kudapatkan adalah sedikit uang untuk bisa makan roti tawar." ungkap Mikasa sembari menatap jalanan yang masih nampak basah karena sisa hujan.

Gadis bersurai coklat mendengus namun kemudian terkekeh. "Kau benar. Orang seperti kita tidak cocok makan roti karena itu tidak mengenyangkan."

Iris jelaga Mikasa mengerling. Ia tidak bisa bertahan dalam keadaan yang sama terus-menerus. Hidup terus berlanjut. Dan untuk melanjutkan hidup ia harus mendapatkan banyak uang karena bukan hanya perut yang perlu ia isi makan.

Mikasa adalah anak yang menjadi korban dari perpisahan orang tua. Dari usia tujuh tahun ia harus belajar merelakan banyak hal termasuk masa kanak-kanaknya yang ia habiskan untuk bekerja.

Ibunya hanya seorang pegawai toko roti yang gajinya tak seberapa. Harus menghidupi dirinya dan juga dikejar rentenir membuat kondisi kesehatan Ibunya menurun drastis dan berujung pada kematian.

Setelah kepergian sang Ibu untuk selama-selamanya. Tanggung jawab untuk melunasi hutang-piutang di ambil Mikasa dengan suka rela. Bekerja dari satu tempat ke tempat yang lain. Meski awalnya berat namun semua itu berhasil di laluinya.

Memiliki tiga pekerjaan sekaligus tidaklah cukup bagi Mikasa yang membutuhkan banyak uang. Apalagi sekarang para rentenir itu semakin gila mengejarnya. Jangankan tiga pekerjaan. Sepuluh pekerjaan pun Mikasa tak yakin bisa mengumpulkan uang sebanyak itu untuk membayar setengah dari hutangnya.

"Ambil ini." gadis bersurai coklat memberikan secarik kertas pada Mikasa yang segera menerimanya. "Itu alamat gedung apartemen pria yang akan menjadi pelanggan pertamamu."

"Apa dia sangat kaya raya?" Mikasa menatap takjub pada secarik kertas yang di genggamnya.

"Sangat kaya hingga membeli dua ginjalmu saja aku yakin di mampu." 

Mikasa merotasikan mata. Ia masih belum mau mati, setidaknya sampai ia yakin para rentenir itu berhasil di balasnya. "Gedung apartemen ini berada di kawasan elit."

Gadis bersurai coklat mengangguk. Tentu saja ada di kawasan elit karena sosok yang akan menyewa jasa sahabatnya itu beruang. "Aku tidak bisa mengantarmu kesana."

Mikasa mengangguk paham. Lagi pula ia tidak ingin di antar karena dirinya bukan lagi bocah ingusan yang akan menangis jika tak di temani. "Jadi aku harus sampai disana pukul tujuh malam tepat?"

"Usahakan untuk datang tepat waktu. Dia orang yang tidak suka menunggu."

"Bagaimana kau bisa tahu?"

"Dia pernah menjadi pelanggan Historia."

Bibir delima Mikasa sedikit terbuka menandakan jika dirinya sedang terkejut. Ia tidak pernah menyangka jika Historia yang ia kenal sebagai primadona sok suci dari kampusnya ternyata juga bekerja sebagai jalang.

THE BONDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang