Dua

81 11 2
                                    

Mikasa menatap tajam pria yang masih mencekik lehernya. Tubuhnya bahkan semakin ditekan hingga pinggangnya terasa nyeri.

"Bisakah kau melepaskan tanganmu? Perjanjian di batalkan." ucap Mikasa susah payah.

Bukannya apa-apa. Hanya saja Mikasa ingin mencari aman dengan menjauh dari pria berbahaya itu. Ia yakin pada instingnya.

"Siapa kau sampai bisa memutuskan?" pria itu berbisik sembari melepas cekikannya. "Pihakmu yang menawarkan tapi aku yang berhak memutuskan." lanjutnya membelai leher memerah Mikasa.

Wajah Mikasa meringis. Ia sedikit bisa bernapas dengan benar namun kemudian. Remasan pelan ia rasakan pada dada sebelah kirinya. Kontan saja hal itu membuatnya tersentak.

"Aku tidak mengerti ucapanmu." Mikasa menahan tangan yang meremas dadanya agar tidak bisa berbuat lebih. Ia menarik tangan nakal itu dan menatap sang pria tepat di mata. "Jangan bermain-main denganku."

Si pria menatap wajah Mikasa datar. "Harusnya kau berpikir sebelum terjun ke dunia seperti ini. Kenapa kau menjadi pelacur jika tidak siap bertemu manusia sepertiku, butuh uang?"

Mikasa terkekeh. Ia mencoba sebisanya agar tak terlihat gentar. "Kau benar. Aku membutuhkan banyak uang jadi lepaskan aku."

"Kau mungkin sedang tidak paham seperti apa situasimu. Saat kau sudah memulai sesuatu. Maka kau harus menyelesaikannya." tangan kekar itu mencengkram kaos putih yang Mikasa kenakan. Membuat tubuh Mikasa terangkat hingga kini keduanya kembali berdiri berhadapan.

Mikasa memegang lengan kokoh sang pria. Lebih tepatnya mencengkram untuk meminimalisir kemungkinan terburuk yang mungkin saja akan terjadi. Mikasa tidak mau tubuhnya di banting ke lantai karena itu meyakitkan.

Sang pria menangkup kedua pipi Mikasa. Menekan untuk merasakan kelembutannya. Tatapannya begitu intens menyorot wajah cantik Mikasa yang terlihat berbeda dari wanita yang selama ini pernah ditemuinya.

"Memulai apa maksudmu? Aku bahkan belum memulai apapun." Mikasa bisa merasakan tangan kanan yang sebelumnya menangkup pipinya kini berganti menangkup dadanya dan meremasnya. "Kita bisa lupakan pertemuan ini. Aku akan menghilang dari hadapanmu seperti kotoran yang tersapu hujan."

Mikasa menggigit pipi bagian dalamnya. Ia bisa merasakan dadanya diremas dengan kuat. Tidak hanya sampai disitu saja. Tangan yang tadi sempat meremas dadanya itu menurun menuju area terintimnya yang kemudian dipegang dan kembali di tekan.

"Jangan berkata seperti itu. Apa kau berniat menggodaku?"

"Jangan bercanda!" Mikasa berusaha sekuat tenaga agar tidak mengeluarkan suara aneh dari mulutnya. Tekanan pada organ intimnya berubah jadi remasan yang membuatnya tak berkutik.

"Lakukan tugasmu."

Tangan Mikasa terkepal. Ia mengumpat dalam hati. Memaki nasib sialnya karena bertemu pria berbahaya yang terlihat tak ingin melepaskannya begitu saja.

"Manjakan milikku."

Mikasa berlutut di depan selangkangan sang pria yang berdiri kokoh. Dengan sekali tarikan. Celana dalam yang tadinya membungkus organ kebanggaan sang pria tersingkap kebawah. Memunculkan penis berukuran besar yang begitu saja berdiri tegak di depan wajah Mikasa.

"Kau bisa melakukan pekerjaanmu dengan benar bukan?" Mikasa menutup mata saat penis milik sang pria menampar bagian kiri wajahnya.

Tak bisa dipungkiri, Mikasa merasa kesal dibuatnya. Ia memang sudah bersiap dengan apa yang mungkin saja terjadi. Tapi disewa seorang pembunuh. Otak Mikasa menolak untuk tunduk tapi dirinya tak punya pilihan lain.

Tangan yang sempat menganggur memegang sisi kanan kepala Mikasa. "Buka mulutmu." perintahnya.

Mikasa hanya menurut. Ia membuka mulutnya namun satu detik setelahnya. Mikasa dibuat menyesal karena pria itu langsung memasukkan penisnya ke dalam mulutnya. Menarik kepalanya hingga penis tersebut masuk seutuhnya kedalam tenggorokannya.

THE BONDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang