Arwen

3 0 0
                                    

Arwen

Tak ada hal lain yang begitu kurindukan dari kota ini selain kenangan-kenangan senja di taman kota. Tidak terkecuali rumahku semasa kecil dulu yang kini sudah dipenuhi orang-orang yang semuanya asing bagiku. Seperti halnya aku yang juga telah asing bagi ayah sejak dia mengidap Alzheimer setahun lalu. Semua pekerja pun sudah berganti, tak ada yang kukenal lagi.

Selain kenangan di taman kota, aku juga merindukan anak laki-laki itu. Ia telah begitu banyak berubah sejak kami berpisah tiga belas tahun lalu. Telah begitu dewasa, begitu bersahaja, dan dia masih setia menungguku di kota ini. Aku mengenalinya dari hiasan berbentuk lumba-lumba yang tergantung di gelangnya. Aku tidak mungkin lupa.

Ketika itu, syal fuschia kesayanganku yang diterbangkan angin mendarat tepat di atas es krim vanilla bertoping saus raspberry yang sedang asyik dijilatnya di bangku taman. Karena terkejut, anak laki-laki berusia tujuh tahun itu pun tak sengaja menjatuhkan es krimnya.

“Itu syalku.”

Dia kemudian memungut dan menyodorkannya padaku.

“Maaf, Nona, es krimku mengotorinya.”

“Aku yang harus minta maaf, es krimmu jadi jatuh.”

Dia diam saja sambil memandangi ceceran eskrimnya yang sudah menyusup ke rerumputan.

Usianya lebih muda empat tahun dariku dan dia begitu sedih. Bibirnya sampai bergetar menahan air mata. Es krim bersaus raspberry adalah tipe jajanan yang barangkali hanya bisa dinikmatinya paling banyak tiga kali setahun. Namun, alih-alih memarahiku, saat ini dia justru sangat takut kalau-kalau aku melaporkannya pada ayah atau ibu tiriku. Dengan posisinya sebagai anak tukang kebun dan pembantu di rumahku, tak akan banyak yang bisa dilakukannya untuk membela diri.

Sejak dia lahir, aku sudah senang bermain dengannya. Aku, anak tunggal yang sudah kehilangan ibuku sejak aku lahir telah belajar menyayanginya seperti adikku sendiri. Tapi sejak ayahku menikah lagi dan aku mendapat kakak tiri baru bernama Dahsya, ibu tiriku tak lagi mengijinkanku bermain bersama Zale.

“Dengar, Zale! Kau kan tahu bahwa aku bukan tukang mengadu seperti kakakku.”

Dia ragu apakah sudah boleh merasa lega. Wajar saja. Baru dua hari lalu kakakku Dashya menjatuhkan sapu tangan ke atas istana lumpur buatan Zale, dan dengan semena-mena Dashya mengatakan kepada ibu tiriku bahwa Zale melempar lumpur ke sapu tangannya dan akibatnya, Zale harus menguras kolam belakang yang penuh dengan lumut sendirian.

“Ayo aku ganti es krimmu yang jatuh. Mumpung truk es krim-nya masih di sana.”

Dia masih diam, antara malu dan mau.

“Ayo!”

Aku menarik tangannya

Pada senja itu kami berdua menjilat es krim vanilla dengan toping saus raspberry sambil tertawa-tawa di bangku taman.

“Mereka benar-benar akan mengirim Nona ke asrama?”

“Ya. Mereka membenciku, dan ingin menyingkirkanku dari rumah.”

“Tuan tidak membenci Nona.”

“Tapi ayah lebih percaya kepada istri barunya dibandingkan denganku.”

Zale menyeka air mata di pipiku dengan tangannya yang kecil dan agak gendut.

“Ini. Pakailah!”

“Apa ini, Nona?”

“Ini agar kau mengingatku terus.”

Aku memakaikan gelang dengan hiasan lumba-lumba di tangannya. Gelang orang dewasa itu sangat kebesaran di tangannya yang kecil. Sehingga aku membuat simpul untuk memperpendeknya.

“Aku tidak akan melupakan Nona.”

“Selamanya?”

“Apa Nona tidak akan kembali lagi kesini?”

“Kau akan jadi alasanku kembali.”

“Aku akan menunggu Nona.”

“Kalau aku kembali nanti, apa kau akan menikahiku?”

“Apa?”

“Jawab saja!”

“Iya, baiklah Nona.”

Sebenarnya, jawabannya saat itu kuduga lebih disebabkan karena dia takut kepadaku dibandingkan karena keinginannya sendiri. Tapi entahlah, aku akan lihat apa yang terjadi setelah kami bicara sebentar lagi.

“Nona! Tunggu!”

Aku membalikkan badan. Kulihat Zale sedang berlari menghampiriku sambil membawa syal berwarna Fuschia milikku yang sengaja kutinggalkan di kedainya.

Senja di Tiga Pasang MataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang