Hall

2 0 0
                                    

Hall

Aku penasaran pada apa yang dilihat Arwen di festival kembang api taman kota. Ketika itu, dia dengan tiba-tiba menjadi begitu bersemangat, matanya berbinar seolah menemukan sesuatu yang telah dicarinya begitu lama. Seketika itu juga dia mengejar apa yang dilihatnya, menembus keramaian dan melepas genggaman tanganku hingga kami terpisah. Saat bertemu lagi di tempat parkir setelah lebih dari satu jam dia menghilang, dia menjadi begitu bahagia. Kebahagiaan yang belum pernah kulihat sebelumnya sejak aku pertama kali mengenalnya. Bahkan dia terlihat jauh lebih bahagia daripada saat aku membawakannya sebuket mawar putih untuk pertama kalinya.

Sejak peristiwa itu, dia selalu pergi ke taman kota setiap sore. Di pagi hari, dia akan bangun dan pergi begitu dini dari hotel tanpa sarapan untuk mengerjakan agenda harian persiapan acara fashion show yang akan kami selenggarakan bersama. Kami memang tidak pergi bersama melainkan membagi tugas agar persiapan menjadi lebih efisien. Dia akan sudah menyelesaikan semuanya lalu segera pergi ke taman kota pada pukul empat sore, waktu yang sebenarnya terlalu dini bila dia bertujuan menikmati senja.

Ia mungkin tidak tahu bahwa aku mengikutinya kemanapun dia pergi. Entah apa yang merasuki pikiranku, aku lebih memilih membayar orang-orang untuk mengerjakan bagian pekerjaanku dan menghabiskan waktuku mengawasi Arwen. Firasatku menyiratkan kekhawatiran dan bayangan-bayangan buruk akan kegagalan rencanaku melamarnya di puncak acara. Padahal, dilamar di kota kelahirannya setelah lama tidak kembali harusnya akan jadi sesuatu yang romantis untuk Arwen. Dan aku begitu tidak rela semua persiapanku menjadi sia-sia. Meskipun setiap hari aku hanya berakhir entah dengan perasaan kecewa-atau lebih tepatnya lega karena tak pernah menemukan apa yang kucurigai. Aku hanya mendapati Arwen di bangku taman, menghadap ke jalan yang juga ke arah senja. Duduk sendiri sejak pukul empat sore dan baru beranjak saat senja berakhir pada pukul tujuh.

Hari ini pun aku membuntuti Arwen, namun apa yang kutemui sekarang sedikit berbeda. Arwen baru tiba pada pukul setengah enam. Mungkin saja ada hal yang menghambatnya hari ini. Kali ini Arwen tidak menuju bangku taman kota untuk menikmati senja seperti biasanya, namun ia masuk ke sebuah kedai es krim persis di seberang taman kota. Kedai itu tepat menghadap ke timur, tempat dia sama sekali tidak bisa menikmati senja.

Arwen masuk dan memilih bangku di dekat jendela kaca yang menghadap ke jalan, tempat aku dapat dengan mudah mengawasi semua yang dilakukannya. Dia duduk, memakan pesanannya yang nampaknya es krim dan pie. Kadang-kadang kulihat dia menggoyang-goyangkan kepalanya sedikit sambil mengunyah. Sepertinya dia menikmati alunan musik di kedai itu. Sesuai dugaanku, setelah senja berakhir pada pukul tujuh, dia pun beranjak pergi.

Apa yang kemudian menarik perhatianku dan mengurungkan niatku untuk menyudahi penyelidikanku hari ini adalah seorang pelayan yang terburu-buru keluar dari kedai sesaat setelah Arwen meninggalkan kedai itu. Dengan begitu yakin, ia berbelok ke kanan, tepat ke arah Arwen pergi, seolah ingin membuktikan bahwa dia memiliki kebiasaan mengawasi kemanapun pengunjungnya berlalu setelah meninggalkan kedai. Di tangan kanannya tergantung syal berwarna Fuschia milik Arwen yang rupanya tertinggal di kedai. Aku pun berlari membuntuti mereka berdua sambil tetap menjaga jarak agar tidak terlihat atau tampak mencurigakan.

Tak butuh waktu lama, pelayan kedai itu pun menemukan Arwen dan memanggilnya. Tepat sebelum Arwen membalikkan badan, aku telah dengan cekatan menyembunyikan diriku di balik sebuah tembok gang dimana aku bisa mengawasi dan mendengar percakapan mereka dengan jelas.

“Syal Anda tertinggal di kedai kami, Nona.”

Arwen tersenyum.

“Jadi, kau belum mengingatku juga? Harus bagaimana lagi aku memberimu petunjuk?”

Si pelayan tampak bingung. Arwen melanjutkan.

“Aku senang kau masih menyimpan gelang itu.”

Si pelayan memandangi gelang beraksen hiasan lumba-lumba di tangan kirinya, kemudian mengalihkan pandangannya ke Arwen, lalu ke syal fuschia milik Arwen.

“Nona ini?”

Arwen mengangguk sambil tetap tersenyum.

“Apa kabarmu, Zale?”

Kebingungan di wajah pelayan bernama Zale itu pun lenyap dalam sekejap, digantikan kebahagiaan yang menjelma senyuman atau lebih tepatnya seringai.

“Aku masih menunggumu, Nona Arwen.”

“Aku mencarimu begitu aku kembali, dan aku sudah mengamatimu seminggu ini.”

“Salahku karena tidak mengenalimu, Nona.”

“Berhentilah memanggilku Nona. Aku bukan majikanmu lagi.”

Mereka berdua diam sesaat.

“Apa kau mencintaiku, Zale?”

Zale tampak terkejut dengan pertanyaan Arwen. Kulihat dia menelan ludah. Tapi sesaat kemudian dia menjawab.

“Masih sama seperti dulu.”

“Kalau begitu ayo kita menikah.”

Aku tertegun mendengar semua itu. Yang dilihat Arwen selama ini ternyata bukanlah senja.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 23, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Senja di Tiga Pasang MataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang