Page 1

264 33 6
                                    

Disebuah kota metropolitan Indonesia yang terkenal tidak pernah tidurnya yaitu Jakarta, telah tinggal seorang lelaki berdarah campuran Melayu-Korea Selatan yang bernama Handoko Jigar. Ia baru berumur 17 tahun. Ia bersekolah di SMA Negeri 98 Jakarta Selatan.

Han dikenal sebagai siswa yang sangat nakal di sekolahnya. Dan di antara kenakalannya itu yaitu berkelahi, melakukan balap liar, berjudi, mabuk, merokok dan tawuran antar sekolah dengan menggunakan senjata tajam.

Pagi ini, Han terlihat sedang berkelahi dengan temannya yang berbeda jurusan dengannya. Karena Han dan temannya itu gaduh, sehingga membuat berbagai siswa datang menonton perkelahian mereka berdua, bahkan ada yang membantu teman Han itu untuk memukuli Han. Namun karena dia hebat, beberapa teman satu angkatannya itu terpelanting penuh luka lebam pada wajahnya.

Kegaduhan yang Han buat itu, membuatnya dipergoki oleh kepala sekolah saat ia sedang berkelahi dengan temannya. Ibu kepala hanya bisa mengelus dadanya melihat kenakalan Han yang sering dilakukannya itu. Ia dan pihak sekolah sudah tidak sanggup lagi untuk mengurusnya. Oleh karena itu, Han mendapatkan surat untuk kedua orang tuanya dari pihak sekolah yang menyatakan bahwa ia akan dikeluarkan dari sekolah dan dipindahkan pada suatu pondok pesantren supaya ia bisa memperbaiki semua kesalahannya.

"Hanji, ikut ibu ke dalam ruangan ibu!" Kata ibu kepala sekolah seraya memanggil Han dengan tegas. Han yang sedang duduk di depan ruangan kelasnya dan bermain game di ponselnya mengernyit bingung. Kenapa ia dengan tiba-tiba dipanggil oleh ibu kepala sekolahnya, karena ia tidak merasa melakukan apa-apa kali ini. Dan anehnya, ekspresinya hanya datar-datar saja seolah tak takut jika ia akan dimarahi oleh kepala sekolahnya itu.

"Permisi, ada apa ya, bu? Kok saya dipanggil ke ruangannya ibu? Tumben sekali...." tanya Han dengan wajah yang acuh sembari mendekapkan kedua tangannya pada dadanya. Ibu kepala sekolahnya melotot mendengar pertanyaan konyol dari siswanya yang terkenal nakal itu. Ia menggebrak mejanya dengan keras.

BRAK!

Han tersentak saat melihat kepala sekolahnya itu mengamuk di hadapannya. Ia langsung menundukkan wajahnya, takut.

"Kamu bilang ada apa? Harusnya ibu yang bertanya padamu, ada apa sebenarnya denganmu?! Kau berbuat ulah lagi, Han?! Huuuuuft... Ibu sebenarnya sudah muak dengan semua perilakumu yang tidak kunjung berubah selama ini!" bentak ibu kepala sekolahnya itu sembari memijit keningnya pelan. Han menoleh sebentar, melihat wajah ibu kepala sekolahnya itu yang sedang memejamkan matanya dan mendengus kasar.

"Ya sudah, kalau begitu. Ini... kau berikan, sampaikan dan tunjukan surat ini pada kedua orang tuamu dan ibu meminta kedatangan mereka esok pagi, pukul 09.00 WIB. Ibu permisi dulu," sambung ibu kepala sekolahnya lagi dengan menyerahkan sepucuk surat resmi dari pihak sekolah pada Handoko. Ia tidak mengetahui surat apa itu, dan ia hanya berpikir bahwa surat itu hanyalah surat panggilan untuk kedua orang tuanya agar datang ke sekolahnya seperti yang biasa ia dapatkan. Namun sayangnya, kali ini pikirannya salah. Karena itu adalah surat pengeluaran dirinya dari sekolah.

Saat pulang sekolah tiba, ia buru-buru menyampaikan surat yang tadi diberi oleh ibu kepala sekolahnya itu pada ayahnya saat ayahnya baru saja pulang dari kerjanya. Ia langsung memasuki ruang kerja ayahnya itu.

"Pap? Ini ada surat lagi dari pihak sekolah. Dan kata ibu kepala sekolah, Papap dan Mamams harus datang ke sekolahku besok jam 09.00 tepat," ucap Handoko yang menyodorkan surat itu pada ayahnya lalu beranjak duduk di sofa ruang kerja ayahnya itu dengan raut wajah yang sangat santai.

Ketika ayahnya membaca isi surat yang berlabel resmi dari SMA Negeri 98 - Jakarta Selatan itu, ia terlihat sangat shock dan membungkam mulutnya tak percaya. Ayahnya terlihat sangat murka dan berteriak sangat lantang sehingga membuat Han tersentak.

"APA?! APA-APAAN KAMU INI, HAH?! JADI INI YANG INGIN KAMU BERIKAN PADA PAPAP?! PAPAP BISA MALU NANTI DENGAN TEMAN-TEMAN KANTOR PAPAP, HANJI!! KAMU SEHARUSNYA MALU PADA DIRIMU SENDIRI HANJI! MALU!!" bentak sang ayah dengan raut wajah sangat murka. Bahkan kini, Han tidak berani menatap wajah ayahnya yang sedang terlihat seram itu. Ia hanya bisa tertunduk takut. Keringatnya berkucuran, membasahi rambut hingga badan lelaki yang berparas tampan dan putih itu.

Ia bingung, sebenarnya yang diberikan kepala sekolahnya itu surat apa? Karena biasanya, ketika ayahnya mendapatkan surat panggilan dari sekolahnya itu, ia tidak sampai semarah itu. Namun kini berbeda. Handoko, ia yang sedari tadi bungkam karena bingung ingin berkata apa pada ayahnya yang sedang naik pitam itu, akhirnya memberanikan diri bertanya kepada ayahnya. Ia hanya ingin tahu, sebenarnya surat tentang apa itu? Sampai-sampai membuat ayahnya itu begitu marah padanya ketika membaca surat itu.

"Pa-Pap? I-ituu... itu... sebenarnya s-surat ap-apa?" tanya Han dengan gugup dan wajah yang memucat, ia takut ayahnya semakin marah padanya. Dan benar saja dugaannya, ayahnya bahkan semakin marah padanya. Ayahnya juga ingin menampar Han namun dicegah oleh ibundanya.

"KAMU INI! ANAK YANG TIDAK TAHU DIUNTUNG! INI ADALAH SURAT PINDAHMU DARI SEKOLAH! APAKAH KAU TIDAK SADAR JIKA SEKOLAH TELAH MENGELUARKANMU, HAH?! MEMANGNYA SELAMA INI KAU SUDAH BERBUAT APA SAJA DI SEKOLAHMU ITU, HAH?! PAPAP SUDAH MUAK DENGAN SEMUA KELAKUANMU ITU, HANJI!" Tangan ayahnya yang mulai beranjak ke atas dan bersiap-siap untuk menampar wajah putih tanpa cacat milik anak sematawayangnya itu. Han terlihat sudah sangat ketakutan akan ayahnya. Untungnya, Han bisa selamat berkat ibunya.

"Papap! STOP! Sudah Pap, sudah! Aku tidak ingin anak kita satu-satunya ini terluka akibat kemarahanmu itu. Mamams mengerti apa yang Papap rasakan. Mamams juga sama Pap! Namun, Mamams bisa memaklumi Hanji dan menerima keputusan sekolahnya jika Hanji harus dipindahkan dari sekolahnya menuju pondok pesantren yang bahkan jauh sekali dari rumah kita. Namun, ini adalah keputusan yang tepat agar anak kita, Handoko Jigar ini menjadi pribadi yang lebih baik dari sebelumnya!" ucap ibu Han menenangkan amarah suaminya itu dengan air mata yang sudah keluar deras membasahi pipinya. Han yang mengetahui itu semua, ia hanya bisa tertegun melihat keributan yang terjadi di dalam rumahnya, yang biasanya tidak terjadi keributan sama sekali. Ia membulatkan tekad dan berjanji, akan merubah sikapnya jika ia sudah pulang dari pondok pesantren nantiya.

"Han berjanji Mams, Pap. Han janji bakal jadi pribadi yang lebih baik lagi...."

To be Continued

24/11/2022

~Hello, Wanita Bercadar~

Banyak draft cerita di laptop yang gua tulis di tahun 2015, zaman dimana dua belum jadi author FF. Jadi pengen gua publish di WP dan dijadiin FF. Lumayan lah ya wkwkwk. Yang mampir jangan lupa vote dan komennya ya. Thank you. :* 143

Hello, Wanita Bercadar • Han Jisung x You ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang