3. Menyulam Pilihan

37 3 0
                                    

Selepas shalat 'isya ia segera menyelesaikan pekerjaan rumah. Menjemur seluruh pakaian yang sudah ia bilas, mencuci piring dan gelas, juga membereskan ruang kamarnya, lalu tanpa menunggu waktu lama ia lesatkan motor yamaha tahun tujuh puluh miliknya.

Jaket levis berwarna biru tua, helm klasik, dan sepatu slop hitam kesayangan miliknya tidak lupa untuk ia kenakan menemani perjalanan pulangnya. Bukan karena suka style klasik, lelaki tampan itu memang selalu berupaya seadanya. Baik dari cara berpakaian, bersikap, dan gaya hidupnya. Ia sadar betul, kedua orang tuanya bukan mereka yang Allah takdirkan menjadi orang yang serba punya. Baginya, sudah diberikan kesempatan untuk bisa sekolah sampai bangku kuliah saja sudah nikmat luar biasa.

Perjuangan kedua orang tuanya untuk membiayai pendidikannya di pesantren dahulu tiba-tiba terputar jelas di ingatannya. Selalu saja mengundang air mata, sebab lelaki paruh baya yang kerap ia panggil bapak itu sudah tidak punya apa-apa lagi hari ini kecuali membantu usaha menjual kue bersama istrinya. Terakhir kali sebelum wisuda Al-Qur'an tiga puluh juz, bapak dan ibunya menjual sawah peninggalan keluarga untuk biaya kelulusan dan menebus ijazah sekolahnya. Mendengar kabar bagaimana perjuangan kedua orang tuanya, mulai hari itu ia bersumpah bahwa kelak ia akan kuliah dan tidak akan lagi meminta sepeserpun uang kepada kedua orang tuanya.

Semenjak Bonbon tahu surat yang sampai kepadanya, lelaki gondrong dan buncit itu selalu mendesak nya agar segera membalasnya. Bagaimanapun hati wanita yang sudah menunggu dan siap di bimbing oleh lelaki se-shalih Falah harus segera bernafas lega dengan jawaban balik dari surat yang sudah mereka berdua tulis untuknya. Entah surat mana yang harus ia balas dengan kalimat penerimaan, juga surat mana yang harus di akhiri berupa penolakan.

Desakan dari Bonbon menyadarkannya bahwa ia harus segera pulang akhir pekan ini. Memanfaatkan libur kuliah dua hari, juga izin untuk tidak menjadi imam shalat rawatib di dekat tempat tinggalnya. Hanya untuk bertemu bapak dan ibunya, meminta arahan, nasihat, dan keputusan keduanya tentang bagaimana baiknya dan seharusnya ia menyulam pilihannya. Sepanjang jalan semenjak berangkat tadi lelaki itu bingung harus dengan wajah apa bicara dan menghadap kedua orang tuanya nanti. Bingung dan malu rasa-rasanya bercampur jadi satu, ia sadar betul bahwa selama ini belum bisa memberikan yang terbaik bagi kedua orang tuanya.

Sampai detik ini, shalat istikharah Falah belum juga membuka rahasia titik terang untuk menjawab kegelisahannya. Jumlah tilawah hariannya sudah ia tambah, muraja'ah-nya juga demikian, dzikir pagi dan petang juga tidak pernah putus dari lisannya. Tetapi tetap saja, semua tidak bisa meredakan gejolak hatinya. Bayang-bayang dua surat itu selalu hinggap dan menggelayut dalam fikirannya.

"Kan aku sudah bilang, kenapa dua surat ini datang bersamaan, ya memang mungkin Allah ingin segera kamu menikah, Fal! Emang enak di kejar-kejar cewek terus? Pilih satu saranku, deh!"

Kalimat dari lisan Bonbon rasa-rasanya ada benarnya juga. Sebab satu tahun belakangan sudah ada lima tawaran masuk dari perempuan yang berbeda. Ada yang sebatas menawarkan dirinya agar bisa menjadi kekasih hatinya Falah, ada yang ingin sekali menjadi adik angkat spesial untuknya, bahkan ada yang terang-terangan meminta agar di nikahi oleh Falah. Ia tertawa kecil dari balik kaca helm klasiknya, bisa-bisanya lelaki bermotor butut dan sederhana seperti ia di sukai perempuan-perempuan yang prestasi di kampusnya selangit dan kecantikannya di akui oleh mahasiswa dan mahasiswi di fakultas mereka. Perempuan yang biasa skincare-nya saja sebulan hampir setengah juta. Berangkat dan pulang kuliah dengan mobil mewah. 

Beberapa kali juga Falah di klaim norak dan bodoh karena menolak mentah-mentah perempuan-perempuan kelas kakap di kampusnya. Mengingatnya benar-benar jadi hiburan tersendiri baginya, karena Falah sadar semua tawaran itu hanya ujian kesungguhannya saja dalam menyelesaikan studinya. Mau di nilai seperti apapun bagi Falah tidak masalah, yang penting baginya adalah harga dirinya sebagai lelaki dan seorang muslim tetap terjaga, juga hafalan yang sudah melekat di kepalanya tidak sirna hanya karena pesona perempuan berawajah bening dan kinclong yang naksir dengannya. Bahkan karena saking indah pesonanya, andai ada nyamuk yang hinggap di wajah perempuan-perempuan itu, mungkin akan terpeleset karena saking mulus kulitnya.

Hidayah Dalam CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang