Episode 1 : Hari

14 1 0
                                    

Namaku Juni, saat berusia 2 tahun Panji harus kehilangan ayahnya karena penyakit tipes, yang membuatku harus menjadi single parent, sebagai ekonomi menengah kepergian ayah Panji membuatku harus putar otak untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Aku harus mencari pekerjaan yang bisa membuatku bisa memenuhi kebutuhan keluarga sekaligus dapat meluangkan waktu untuk mendidik Panji yaitu sebagai penjahit, dan sekarang usia Panji sudah 5 tahun dan dia sudah bisa berjalan dan berbicara. Panji memiliki sebuah tanda lahir yaitu sebuah bercak putih pada tangan kanannya

"pasti berat ya bu bekerja sekaligus mendidik anak sendirian" kata seorang tetangga

"iya bu, ini bu hasil jahitannya silahkan diambil" balasku sambil menyerahkan baju yang dipesan ibu tadi

"hmm, hasil kerja yang bagus ini uangnya, aku pamit dulu ya" kata tetangga itu

"iya bu terima kasih"

Kemudian tetangga itu meninggalkan kami berdua untuk pulang ke rumahnya. Sementara Panji tetap bermain dengan mainannya

Uang yang diberikan ibu tadi mau aku pakai buat beli sayuran di penjual yang berada di pinggir jalan raya dekat rumah

"panji, mau ikut ibu belanja sayuran buat makan kita nanti malam nggak?"

"mau bu" balas Panji

Sesuai jawaban yang aku inginkan, aku tidak mungkin meninggalkan Panji dirumah sendirian jadi kuajak dia.

Setelah itu kami membawa payung karena siang itu matahari sedang terik-teriknya

"ayo berangkat"

"iya bu"

"anak baik"

Panji sangatlah manis menggunakan baju seperti itu, dia juga anaknya penurut dan tidak pernah memberontak

Setelah berjalan sebentar terdapat penjual mainan dan Panji ingin dibelikan sebuah bola berwarna kuning

"bu aku ingin bola itu bu" kata Panji

Karena Panji anak yang baik dan penurut aku jadi tidak tega untuk menolaknya, jadi aku membelikannya sebagai hadiah karena panji adalah anak yang penurut

"berapa harga bola ini bang?" kataku pada pedagang mainan itu

"murah bu cuma Rp. 5500,-"

"aduh bang gak boleh kurang? Kurangin sedikitlah bang"

"baiklah bagaimana kalau Rp. 5000,- saja?"

"ya sudah ini uangnya bang" kataku seraya menyerahkan uang sebesar Rp. 5000,- kepada pedagang mainan itu

Lalu kami melanjutkan perjalanan. Pedagang sayuran letaknya berada di seberang jalan maka dari itu untuk menyeberang jalan aku menggenggam erat tangan Panji supaya tidak lepas

"Panji pegang tangan ibu erat-erat ya kita mau menyeberang jalan, sini bolamu biar ibu pegang"

"iya bu"

Aku memegang bola Panji dengan tangan kiriku, sementara tangan kananku memegang erat tangan kecil Panji. Setelah melihat kanan dan kiri dan ternyata sudah tidak ada mobil yang lewat aku langsung menyeberang, setelah sampai di seberang akhirnya kami sampai didepan toko pedagang sayur akupun melepas genggamanku dan memberikan bola pada Panji lagi. Lalu aku memanggil-manggil abang penjual sayur

"bang saya mau beli sayur" teriak saya

"ya tunggu sebentar" kata abang penjual sayur dari dalam rumahnya, lalu dia muncul di toko yang berada di depan rumahnya "mau beli apa neng?"

Sementara itu Panji sedang memainkan bolanya lalu bolanya menggelinding ke tengah jalan Panji mengikuti gelindingan bolanya hingga akhirnya ia sampai di tengah jalan sambil memegang bolanya, sampai akhirnya dia melihat ke kanan dan terdapat truk dalam kecepatan tinggi sedang melaju. Setelah membayar aku menyadari sesuatu bahwa Panji sudah tidak ada didekatku. Lalu tiba-tiba terdapat suara rem truk yang sangat keras, kulihat disana Panji sudah terkapar di tanah. Tanpa mempedulikan keselamatanku aku langsung berlari mendekati Panji yang terkapar disana dan aku menangis sekeras-kerasnya lalu orang-orang mendekat

"Panji kau tidak apa-apa nak?" kataku sambil memeluk Panji

"ibu rasanya sakit" kata Panji lalu tak sadarkan diri

"Panjiii" teriakku

Tapi Panji tidak menjawab, lalu aku dan orang-orang membawanya ke rumah sakit terdekat, setelah sampai disana aku menunggu kabar dari dokter, setelah menunggu beberapa saat akhirnya dokter datang menemuiku

"apakah anda ibunya anak itu?" kata dokter itu

"iya dok bagaimana keadaan anak saya?"

"maaf sebenarnya anak anda sudah meninggal bahkan sebelum sampai dirumah sakit"

Aku langsung tersungkur dan seolah tidak percaya bahwa anakku satu-satunya telah tiada

Sehari kemudian adalah pemakaman anakku Panji semua sanak saudara hadir kecuali kedua orang tuaku karena mereka telah meninggal juga

"sabar ya Jun, mungkin ini adalah ujian dari Tuhan" kata mbakku Lisih

"iya mbak"

Aku berusaha menahan tangis saat acara pemakaman, tapi ketika jenasah dimasukkan ke liang lahat tangiskupun pecah

Sampai akhirnya beberapa hari setelah pemakaman Panji, aku masih diliputi kesedihan, tak ada niatku untuk menikah lagi karena rasa sayangku terhadap Panji dan ayahnya. Akupun tetap melakukan pekerjaanku sebagai seorang penjahit

"neng Jun tabah sekali walaupun sudah ditinggal orang tercinta tapi masih tetap bisa tersenyum" kata tetanggaku, walaupun senyumku adalah senyum terpaksa

"iya bu Mida, walaupun sudah ditinggal orang tercinta tapi hidup harus terus berjalan"

"apa tak ingin nikah lagi neng?"

"maaf bu sepertinya pikiran saya belum sampai ke sana. Oh iya bu ini hasil jahitannya"

"terima kasih neng, ini uangnya, hasil jahit disini selalu bagus karena dikerjakan dengan tulus"

"terima kasih bu"

"kalau begitu saya pamit dulu"

Bertahun-tahun kemudian ada beberapa pria yang menawariku untuk menikah dengannya tapi selalu ku tolak karena aku masih teringat akan suamiku yang dulu dan anakku Panji.

Ketika aku tidur terkadang aku masih teringat Panji hingga bermimpi bertemu dengannya tapi dia tidak pernah bicara padaku dalam mimpi, apakah itu artinya dia tidak bisa memaafkan kelalaianku?

DewasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang