Mata itu kelabu, Jiang Cheng tahu. Ada banyak kata yang tersirat di balik pendar kelamnya, ada banyak pula rasa yang tak pernah sempat tersampaikan oleh tenang wajahnya. Mata itu penuh rahasia dan Jiang Cheng membencinya.
Warna disana hanya mengingatkannya pada kehilangan. Lalu melemparnya lebih dalam pada luka yang tak akan pernah hilang. Mata seperti itu gambaran kebebasan sosoknya, tapi bagi Jiang Cheng, Sosok itu adalah gambaran nyata semesta memperlihatkan kesendirian.Alasannya sederhana. Karena setiap kepalanya menengadah dan Mega kelabu di atas sana menyambutnya, ia sadar, ia tak lagi memiliki apa-apa. Iya hanya sosok kelam yang kesepian di tengah riuh nya dunia. Sendirian, menyedihkan.
Jiang Cheng ingat, dulu, ada satu wanita yang mengagumi mata berwarna kelabu lebih dari apapun di dunia. Yang mencintai bagaimana binar mata kelabu itu bersinar melebihi segalanya. Itu adalah wanita yang paling dia cinta. Juga wanita yang pada akhirnya menjadi gila karena cinta. Itu ibunya.Awalnya Jiang Cheng baik-baik saja dengan semua. Dia tidak pernah membenci yang telah merebut seluruh cinta dari ibunya. Sampai hari itu, pemilik mata kelabu lain datang ke dalam hidupnya. Mata kelabu yang lebih kelabu, kelabu yang lebih pilu dari sebelumnya. Itu adalah kelabu yang sesungguhnya. Sorot kelabu yang lebih hidup, lelaki menghancurkan hidup Jiang Cheng. Dia, yang sore itu datang dan diperkenankan sebagai saudaranya. Adiknya.
"Ini Changse Sanren, istri kedua ayah. Dan ini saudara tiri kamu...Wei Wuxian"
Jiang Cheng masih ingat betul kalimat itu. Kalimat yang Ayahnya katakan tepat di satu sore dengan Mega kelabu yang berarak pilu. Kalimat yang akan selalu membekas dan tak akan pernah ia lupakan. Karena semenjak sore yang kelam itu, dimana ia akhirnya tahu bahwa Ayah telah mengkhianati janji sucinya terhadap ibunya dahulu, hidupnya benar-benar hancur.
Tidak ada lagi tenang di rumah itu. Tidak ada lagi hangat yang selalu Jiang Cheng rindu. Yang tersisa disana hanya suara teriakan setiap pagi, juga bantingan benda-benda mati ketika malam hari. Dini hari pun, Jiang Cheng masih bisa menangkap jelas bagaimana kamar orang tuanya begitu gaduh dengan suara yang sama-sama meninggi.
Sebelum akhirnya semua berhenti. Bersamaan dengan jiwa ibunya yang ikut pergi.
Dan setelahnya, Jiang Cheng juga kehilangan hidupnya.
Semua karena wanita yang bernama Changse Sanren, juga putranya yang bernama Wei Wuxian, yang tiba-tiba masuk ke kehidupan Jiang Cheng dan menghancurkan segalanya."Jiang Cheng"
Suara itu bergema di dalam telinga Jiang Cheng. Suara yang ia kenal. Suara yang ia harap tak pernah datang. Sayang, kini sosoknya nyata di mata Jiang Cheng. Memilih tinggal, dan tidak bisa Jiang Cheng hilangkan.
Dengan cepat Jiang Cheng mengusap sudut matanya yang berair, kemudian bangkit dari posisinya berjongkok di depan makam. Tatapannya tajam mengunci satu sosok yang masih berdiri tegak di tempatnya ketika semua orang perlahan membubarkan diri dari barisan.
Kedua tangan lelaki itu mengepal, berusaha menahan desakan menyakitkan dari dalam dadanya.Rasanya ia ingin maju, memukul wajah itu, menghajarnya, memakinya, menyakitinya. Jiang Cheng ingin menumpahkan segala rasa sakitnya pada sosok Wei Wuxian yang dengan tidak tahu diri datang lalu merenggut semua yang ia punya. Namun, entah mengapa masih ada sesuatu dalam diri Jiang Cheng yang menahan niatnya, sesuatu yang tidak bisa membawanya maju untuk melayangkan pukulannya pada Wei Wuxian.
Padahal gara-gara kedatangan ia dan ibunya yang tidak tahu malu itu, ia kehilangan segalanya. Kehilangan kehangatan keluarga, kehilangan kesempurnaan dalam hidupnya. Dan hari ini, ia kehilangan ibunya.
Wanita itu menyerah pada sakit yang ia terima dan memilih cara paling bodoh untuk mengakhiri hidup. Ibunya tewas bunuh diri. Dan seandainya kewarasan Jiang Cheng sudah hilang, mungkin ia juga akan melakukan hal yang sama.