Wei Wuxian, pertama kali mengenal sosok Jiang Fengmian -Ayah tirinya- dua tahun lalu. Tepat satu tahun setelah orang tuanya berpisah. Ia ingat, hari itu hujan deras, ibunya baru pulang bekerja dengan pakaian yang sedikit basah. Mungkin wanita itu lupa bawa payung lagi, seperti hari-hari sebelumnya. Ibunya memang sedikit ceroboh, dan kebiasaan buruk itu menurun padanya.
Hari sudah malam waktu itu, ibunya memasuki rumah dengan tenang, seperti biasa. Namun, ada yang aneh di sana. Wei Wuxian bisa menangkap figur seorang lelaki di belakang ibunya. Lelaki asing, yang belum pernah ia lihat sebelumnya.
Lelaki itu tersenyum penuh wibawa pada Wei Wuxian. Sekilas, garis wajahnya memang terlihat keras, namun ketika ia bicara, kaku yang lelaki itu punya mencair begitu saja. Ibu memperkenalkannya sebagai Jiang Fengmian, laki-laki yang tidak sengaja ia temui di restoran dan telah berbaik hati meminjaminya uang saat tiba-tiba ia tak bisa menemukan dompetnya di dalam tas ketika hendak membayar. Dan seolah belum cukup garis takdir berperan, laki-laki itu kembali berbaik hati memberinya tumpangan untuk pulang.Melalui obrolan ringan mereka malam itu, diam-diam Wei Wuxian mulai mengagumi sosok Jiang Fengmian yang begitu tenang. Bicaranya tegas, namun dibalik itu, Wei Wuxian bisa menemukan kehangatan. Dengan mudahnya Wei Wuxian menyukai lelaki itu bahkan hanya dalam sekali perjumpaan.
Kemudian, lelaki itu semakin sering muncul di hadapan Wei Wuxian dari hari ke hari. Jiang Fengmian sering datang ke rumahnya untuk sekedar mengantar ibunya pulang, atau mengajaknya keluar untuk makan malam. Hingga dua tahun kemudian, Jiang Fengmian datang ke rumah dengan sepasang cincin pernikahan yang selalu ibunya idamkan. Lelaki itu melamar ibunya den menikahinya satu bukan kemudian.
Wei Wuxian tidak pernah keberatan. Baginya, kebahagiaan ibunya ada di atas segalanya. Wanita itu tampak bahagia bersama Jiang Fengmian dan Wei Wuxian tidak punya alasan untuk tidak membiarkan mereka bersama. Lagipula, sejak awal, dia juga mengagumi sosok Jiang Fengmian.
Awalnya semua baik-baik saja. Ia juga tidak pernah mengeluh sekalipun Jiang Fengmian tidak pernah tinggal di rumah bersama mereka. Lelaki itu hanya akan menginap setiap Sabtu malam dan akan kembali hilang keesokan harinya. Wei Wuxian percaya-percaya saja saat ibunya bilang lelaki itu punya banyak pekerjaan hingga mengharuskannya bermalam di luar, jarang sekali pulang.
Sampai akhirnya, tiga bulan yang lalu, satu rahasia besar terbuka. Jiang Fengmian, dengan tatapan penuh rasa bersalah, duduk bersama sang ibu dihadapannya. Lalu dengan suara yang sangat pelan dan hati-hati, dia mulai menyampaikan satu kenyataan yang tidak pernah Wei Wuxian ketahui selama ini. Jiang Fengmian punya keluarga, lelaki itu punya istri dan seorang anak laki-laki seumurannya.
Wei Wuxian jelas terkejut, tapi tidak dengan ibu. Wanita itu justru meminta maaf dan mengatakan kalau ia telah mengetahui semuanya sejak awal merek memutuskan untuk bersama. Ibunya tahu bahwa Jiang Fengmian adalah seorang pria berkeluarga, tapi ia tidak bisa berhenti sampai di sana. Cinta telah membuat wanita itu buta. Lebih dari itu, cinta berhasil membuatnya kehilangan logika.
Tidak ada yang bisa Wei Wuxian lakukan saat itu selain diam dan merenungkan semua. Di satu sisi ia kecewa, tapi di sisi yang lain, ia juga ingin ibunya bahagia.
Ibunya sudah terlalu banyak terluka, dan jika bahagia wanita itu bersama Jiang Fengmian, Wei Wuxian bisa apa?
Pada akhirnya, setelah menghabiskan satu malam panjang hanya untuk merenungkan semua, Wei Wuxian memilih untuk tidak bersuara. Sekali lagi, dia memutuskan untuk menjadi pihak yang menerima, tanpa berani menentang takdir yang digariskan untuk hidupnya.
Wei Wuxian biarkan Jiang Fengmian membawa ia dan ibunya pulang ke tempat yang seharusnya. Dan dari situ, Wei Wuxian akhirnya mengenal sosok Jiang cheng. Juga fakta bahwa sejak langkah pertamanya di dalam rumah itu, hadirnya sudah tidak diterima.