01 - Kita Bahagia Dulu Ya?

6 0 0
                                    

H - 14, 

Hanya dua minggu terakhir  sampai nanti aku harus pergi. Rasanya ketika bunda bilang aku akan pindah sekolah, saat itu masih dua bulan jaraknya. Apa memang takdir tahu aku seharusnya pergi dengan segera saja? 

Ku tatap lagi layar kotak bercahaya redup itu, terbuka laman dari aplikasi merah bertanda segitiga. Ada video yang sedang kuputar disana, 'when u love him so much - soft playlist at 3am'. Disampingnya bersembunyi laman lain, kotak pesan yang sedang kutunggu untuk terisi. Pukul 23.37, ku gigit kuku tangan yang sedikit panjang, dan kaki yang tak bisa diam terus mengetuk dinding diujung sana.

(1) her. : iaaa?

Ah, akhirnya. Dia membalas pesan singkat ku dengan pesan panjang, tentang malamnya yang tidak baik baik saja. Dengan keberanian gila, ia diam diam pergi menemui teman temannya, sedikitnya satu dua detik melupakan apa yang tadi terjadi dirumah, meminjam ponsel milik seorang teman, lalu membalas pesan ku.

(1) her. : hp ku dipecahinn iaa

      her. : nanti aku cerita yaaa

      her. : ini pian mau pulangg, aku kerumah Ogi duluu

      her. : pada mau ngumpul disana

      her. : gapapa kann?

Lalu hilang lagi.

      him. : okei

Setidaknya mungkin Ogi bisa menghiburnya disana. Tapi tidak dengan batangan putih itu kan? Kemarin ia janji untuk benar benar berhenti, tapi kalau masalah ini memberatkannya lagi, apa ia akan urung? Apalagi Ogi, dia sudah pasti dengan rendah hati berbagi atas dasar 'kasihan, kau sedang punya masalah'. 

(1) her. : eii, aku ngga ngeroko kokk;}

      her. : aku udah janji kann?

Jarang sekali dia paham suara hati ku disaat saat seperti ini. 

Dua hari yang lalu kami berdebat soal batangan putih sialan yang ia pakai. Ketika dia sadar bahwa waktunya dan waktu ku semakin singkat untuk bersama, hari itu pula ia tak sudi melihat oranglain tak turut murung bersamanya. Ia bertengkar dengan Rey dibelakang kelas, yang belakangan baru ku sadari saat melihat luka di punggung tangannya. Ia enggan berbicara pada siapapun termasuk aku, terbaca jelas dari raut wajah garangnya. Lalu ketika pulang, ia lupa mengabari ku dan pergi begitu saja. Malam harinya, ia bilang suasana hatinya sedang tidak baik.

      her. : pusing bangett, 

tulisnya. Ku terka ia sedang merokok disana, dan benar. Dia tahu aku akan marah besar, dia bilang aku boleh saja diam sebentar sampai aku tak marah padanya lagi,

      her. : maaf iaa, wajar kalau kamu marahh

      her. : kalau udah tenang, kabarin aku yaa

begitu. Jelas, kutinggal saja dia sendiri, dengan pesan pesan yang semakin banyak ia kirimkan. Aku tahu dia butuh rokok untuk penatnya, aku tahu dia butuh itu untuk masalahnya, dan dia tahu sebenci apa aku dengan benda itu. Saat dia memilihku, dia sudah berani meyakinkan ku dengan niatnya, lalu apa? Mana bisa kalau mudah sekali melanggar janji begini. Bodo amat soal pesannya yang semakin banyak, aku memilih keluar kamar, berusaha mengalihkan pikiran darinya. 

Mungkin sejak hari itu, tiap malam rasanya selalu saja ada pertengkaran. Tak lagi soal rokok, tapi tentang hal hal lain yang menganggu pikiran aku atau dia. Entah hal kecil atau hal besar, atau ketika aku terlalu dekat dengan teman laki laki dikelas, atau dia yang terkadang tak sadar terus membahas masa lalunya. 

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 30 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

PulangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang