Berangkat

580 41 3
                                    

Sang surya belumlah bangkit dari tidurnya di ufuk timur. Bahkan rembulan masih bersinar di atas langit menjelang subuh hari itu. Sebagian besar orang-orang masih terlena dalam buaian mimpi namun....

"Selimut! Mana selimut!"

"Bawa yang kecil saja, Hali!"

"Oh ya. Harmonika! Bawa juga biar ngga bosan! Atau suling juga boleh!"

Begitulah keributan sahut menyahut terdengar dari sebuah rumah di Pulau Rintis. Lebih tepatnya rumah yang dihuni oleh tujuh kembar bersaudara bermarga BoBoiBoy favorit kita.

Suara debuman langkah mondar-mandir dari Halilintar, Taufan dan Gempa cukup manjur untuk membuat penghuni rumah yang lainnya terbangun. Lantai kayu di lantai dua rumah mereka cukup ampuh untuk membuat bunyi langkah-langkah itu bergaung di dalam rumah.

"Astaga..." Sepasang kelopak mata membuka perlahan dan memperlihatkan mata beriris oranye. Si empunya pun kontan mengucek-ucek kedua bola matanya selagi ia bangkit dari ranjangnya. "Ada huru hara apa ini?" Biasanya Blaze adalah sumber huru hara di rumah itu, namun kali itu dialah yang mendapat dampak.

Tak lama menyusul kakak kembar Blaze terjaga dari tidurnya. Tidak jauh berbeda, mata beriris hijau dari si kakak kembar pun masih terlihat sangat mengantuk. "Tidur lagi sana, Blaze," gerutu Thorn yang nyawanya belum terkumpul sepenuhnya.

Kembali terdengar suara langkah-langkah kaki merusak keheningan malam. Tidak hanya suara langkah kaki, menyusul pula suara-suara setengah berteriak yang dari cemprengnya diduga berasal dari Taufan.

Serempak Blaze dan Thorn turun dari ranjang mereka. Dengan langkah gontai terseok-seok keduanya melangkah keluar dari kamar. Baru saja mereka membuka pintu kamar ketika Gempa berlari melewati pintu kamar mereka.

"Oh, hey Thorn, Blaze," sahut Gempa menyapa tanpa menghentikan langkahnya.

Tentu saja kedua adik yang disapa itu kebingungan, apalagi ditambah dengan lewatnya Taufan yang tidak kalah tergesa-gesanya. Memang Gempa selalu bangun paling pagi untuk memasak, namun kali ini terlalu pagi. Lebih aneh lagi Taufan ikutan bangun pagi karena biasanya Taufan jarang bangun sebelum subuh kecuali jika lupa (baca: menunda) tugas sekolah.

Belum hilang kebingungan Blaze dan Thorn ketika dari arah berlawanan lewatlah si kakak tertua, Halilintar. Berbeda dengan Gempa atau Taufan, Halilintar berjalan lebih pelan.

"Thorn, Blaze." Halilintar menegur seperlunya dan berlalu seperti dibawa angin.

Jadilah Thorn dan Blaze saling berpandangan. "Uh ... Blaze, dunia mau kiamat?" tanya Thorn sambil menggaruk-garuk kepala.

"Ngga, cuma mau terbalik," jawab Blaze asal-asalan. Hilang sudah minat Blaze untuk tidur lagi karena suasana rumah masih terlalu berisik. Di sisi lain Blaze juga enggan untuk tetap melek karena masih terlalu pagi.

"Pagi, Kak..." Dari pintu sebuah kamar yang bersebelahan datanglah Solar. Sama seperti Blaze, rambut di kepala Solar masih acak-acakan. Dia terlihat ogah-ogahan melangkahkan kaki.

"Ada apa ini Sol?" tanya Blaze. Dia melirik si adik dengan penuh kecurigaan. "Kamu kasih minum susu kambing jantan rasa apel lagi ke mereka?"

Merasa didakwa sembarangan Solar menggeram kesal. "Kesannya aku ini tukang eksperimen aneh-aneh," ketusnya lembut, "kak Hali, kak Gempa, kak Ufan 'kan ada acara camping sekolah."

Sejenak Blaze dan Thorn terdiam. Otak keduanya bekerja menelaah informasi dari Solar.

"Lupa ya? Minggu lalu kan Kak Gempa pernah bilang," lanjut Solar lagi.

"Iya kah?" Kedua kelopak mata Thorn mengedip cepat.

"Iya, makanya mereka lagi pada siap-siap." Solar menunjuk ke belakang, ke arah pintu kamar ketiga kakaknya dengan menggunakan jempolnya.

BerkemahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang