Redup cahaya rembulan menjadi sumber penerangan alami di bumi perkemahan. Selain rembulan purnama, pijar cahaya dari beberapa titik api unggun pun cukup membantu memberikan penerangan bagi para siswa yang sedang berkemah.
Dari atas bukit perkemahan, menghamparlah pemandangan kota di kejauhan. Cahaya lampu-lampu jalan, perumahan dan beberapa gedung terlihat seperti berkelap-kelip menghipnotis mata.
Merdunya nyanyian jangkrik dan serangga malam menjadi nyanyian alam memecah keheningan. Terdengar pula lembutnya gaung senar gitar menemani syahdunya malam. Sayangnya ...
"Ketika kupandang kerlip bintang jauh disanaaa!"
Tidak hanya serangga malam saja yang ikut bernyanyi. Sebuah suara cempreng nan kampret turut merobek-robek khidmatnya malam itu.
"Saat kudengar melodi cinta yang mengemaaa!" Bait berikut yang terlantun pun tidak membaik. Mungkin malah semakin cempreng didorong gelora semangat bernyayi Taufan bagaikan artis ibukota yang sedang manggung.
Semakin cempreng suara Taufan, semakin bergetar pula cangkir berisikan teh yang hendak diseruput oleh Gempa. Seperti biasa jika sedang stress, penuh tekanan jiwa namun tidak tega menegur kakaknya, Gempa hanya bisa tersenyum saja walaupun di pelipisnya sudah terpampang perempatan urat.
Sepertinya Fang sudah salah meminjamkan gitar kepada Taufan. Pada awalnya Gempa merasa lega karena Taufan hanya membawa harmonika saja yang dirasa tidak terlalu memancing Taufan tarik suara. Siapa sangka Fang ternyata membawa alat musik kesukaan Taufan.
"Dasar kau, keong racuuun!" Sebuah tembang lagu lagi dinyanyikan oleh Taufan. Semakin tipis pula kesabaran Gempa tergerus oleh aksi tarik suara Taufan.
"Fan, sini. Kita ngeteh dulu." Gempa menyiapkan sebuah cangkir. Ke dalam cangkir itu dia menuangkan teh beserta beberapa sendok gula.
Ajakan Gempa cukup manjur membuat Taufan berhenti menyanyi. "Boleh juga." Taufan menyandarkan gitar pinjaman dari Fang pada dinding kemah.
"Akhirnya damai," tutur Gempa sebelum ia menyeruput tehnya. "Memang bagus kamu suka nyanyi, Fan. Tapi suaramu itu bikin aku sakit kepala."
"Gempa jahat!" ketus Taufan sambil meninju lengan adiknya. "Suaraku merdu, tahu ngga?" keluhnya lagi.
Gempa menggelengkan kepalanya. "Jujurly, suara Solar masih lebih bagus daripada kamu ... yang lebih mirip kucing dicekek."
Gantian, kini sebuah perempatan urat muncul di pelipis Taufan. "Hey, aku nyanyi biasanya latihan dulu ngga dadakan begini," sanggah Taufan membela diri.
Baru saja Gempa hendak membuka mulut dan berkomentar ketika Taufan kembali melantunkan lagu. "Dasar kau keong racun!" Lengkap dengan jari telunjuk taufan terarah pada Gempa sendiri.
"Aaahhh!"Gempa meraung kesal sambil menyumbat kedua telinganya dengan jari.
Begitu spektakuler suara Taufan bahkan sampai terdengar ke sebuah tenda yang berjarak lumayan jauh.
"Nah 'kan Hali, untung kamu ngga satu tenda dengan Taufan."
"Aku pikir sama saja apesnya dengan setenda sama kamu, Fang ... Pakai baju sana! Aku geli melihatmu telanjang dada begitu!"
Kedua penghuni tenda itu tidak lain adalah Halilintar dan Fang. Bagaikan kubu yang bertolak belakang, Halilintar berusaha membuat jarak dengan Fang sejauh tendanya memungkinkan. Fang sendiri berbaring sesantai mungkin di dalam sleeping bag yang setengah terbuka. Dia hanya tersenyum-senyum saja melihat kelakuan Halilintar.
Mungkin salah satu penyebab kegelisahan Halilintar adalah fakta bahwa setengah tubuh Fang dari pinggang ke atas tidak tertutup walau oleh seutas benang sekalipun alias telanjang dada. Setengah tubuh Fang lagi, dari pinggang ke bawah masih tertutup oleh celana dalam model boxer dirangkap oleh sleeping bag.
KAMU SEDANG MEMBACA
Berkemah
FanfictionSiswa sengkatan Halilintar, Taufan, Gempa dan Fang mengadakan perkemahan bersama sebagai acara akhir semester. Cukup menyenangkan berkemah bersama teman sekolah, namun ada saja siswa yang kurang antusias mengikuti acara itu.