Prolog

56 0 0
                                    

Normal adalah satu kata yang akhir-akhir ini mengangguku. Seperti biasa pagi-pagi sekali mama sudah membangunkanku. Aku memang menderita gangguan pendengaran jika berhubungan dengan alarm pagi. Matahari pun mulai bertengger dan mengeringkan sisa -sisa embun yang membasahi bumi. Aku menyesap kopi hitamku. Kopi yang tujuh tahun terakhir ini sering ku minum. Tanpa gula tentu saja. Agar aku terus tersadar kalau aku ternyata masih hidup. Kulangkahkan kakiku menuju satu-satunya mobil peninggalan papa. Mobil honda jazz merah ini tak pernah kotor – atau mogok – setelah aku pindah ke kota ini 3 tahun yang lalu. Biasanya  kalau di Jakarta mobilku akan terkena berbagai debu kendaraan-kendaraan besar seperti truk dan bus. Atau terendam air banjir yang menggenang di mana-mana jika musim hujan.

Jalan komplek perumahanku masih sepi. Tapi jika sudah sampai di jalan arteri utama tentu saja jam-jam pagi merupakan jam-jam padat kendaraan. Setidaknya di sini tidak akan macet berjam-jam seperti saat di Jakarta. Di sela-sela lampu merah aku membuang pandanganku keluar jendela. Ada seorang pedagang koran yang selalu tersenyum saat menjajakan dagangannya. Berlari menghampiri mobil dari depan ke belakang dengan senyuman. Saat aku pulang pada sore hari pun pedagang itu masih ada dan masih tersenyum. Aku bingung terbuat dari apa rahang itu. Ah, betul juga sudah 7 tahun terakhir ini aku belum pernah tersenyum seperti itu lagi. Mama selalu memperingatkanku dan memberi petuah-petuah agar aku selalu tersenyum. Katanya pelangi tidak akan muncul jika tidak turun hujan sebelumnya. Apakah benar ? Merasakan sebuah pelangi mengisi kehidupanku. Rasanya aku tak sanggup.

Sesampainya di kantor kulihat tidak ada yang istimewa. Semua berjalan seperti biasa. Aku bekerja di sebuah perusahaan jasa konstruksi swasta. Setidaknya aku masih bisa bekerja sekarang itu sudah termasuk normal kan ? Kulihat teman-teman kantorku yang sama normalnya denganku.

“Pagi Bell.” Sapa Mey sambil tersenyum.

“Pagi.” Jawabku tanpa tersenyum. Sebetulnya ingin sekali aku tersenyum lapang seperti itu. Pernah sekali aku tersenyum. Dan aku merasakan perasaan aneh di sela-sela aku mengakhirinya. Sejak saat itu aku ragu untuk tersenyum lagi. Aku menghela napas sambil mendudukan diriku di meja kerjaku. Ruangan kantor yang cukup luas ini cukup untuk membuatku merasa normal dan melupakan sejenak semua kejanggalan dalam hatiku. Memang benar kesibukkan akan membuatmu lupa. Ditengah ruang kantor terdapat meja bundar besar yang di pakai jika para tim mendiskusikan sesuatu. Ruangan direktur terletak setelah melewati beberapa bilik meja karyawan. Mey, perempuan yang menyapaku tadi sekarang sedang sibuk membongkar tasnya. Entah mencari apa. Oh ya, dia adalah ahli geoteknik di timku. Bekerja di bidang konstruksi berarti segalanya menyangkut tim. Terdapat tiga tim di kantor ini. Karena peraturan yang di buat sekarang jika salah satu tim menangani proyek besar, maka tim lain akan menangani yang lain. Tidak boleh dobel apalagi tripel. Ini berlaku untuk semua ahli teknik. Aku sendiri merupakan ahli design and interior. Aku lulusan universitas swasta ternama di Jakarta, bahkan aku hanya menghabiskan waktu 3 tahun untuk menyelesaikan pendidikan sarjana arsitekturku.

“Pagi Bell,” Pemuda itu menghampiri bilik kerjaku, lalu mengacak-acak rambutku. Namanya Deri. Aku mengenalnya tiga tahun lalu saat interview masuk perusahaan ini. Pria itu berbadan tinggi, berkulit putih, dan berambut cokelat yang menutupi keningnya. Mungkin jika aku seperti perempuan normal lainnya aku akan berteriak histeris atau mengikutinya kemana pun. Dan berharap kisah seperti di drama korea-korea itu terjadi di kehidupan nyata. Tapi kenyataannya memang aku tidak normal, namun aku berusaha sekuat yang aku bisa agar terlihat normal. Setidaknya itu yang mereka lihat. Aku masih merasakan ke abnormalan hatiku karena sosok itu. Sosok yang selalu membuatku berpikir. Apa aku mengakhiri hidupku saja ? Toh tidak ada tempat untuk orang lain dan aku tidak mau mengambil tempat orang lain di hatinya. Aku seperti mati tapi tidak mati. Seperti hidup tapi tidak hidup. Lalu untuk apa aku menjalani rutinitas ini setiap hari ? Ah, tentu saja agar terlihat normal dan membuat mama bahagia. Empat tahun lalu mama pernah masuk rumah sakit karena serangan jantung. Sejak saat itu aku seperti tertampar oleh sikapku, aku memutuskan untuk kembali. Untuk mama tentu saja, bukan untuk diriku sendiri. Setidaknya tidak akan ada orang lagi yang aku sakiti lalu meninggalkanku. Aku benci diriku sendiri.

Somewhere I BelongWhere stories live. Discover now