Chapter 2

18 0 0
                                    

“Arfa.” Ujar pria dengan postur tinggi itu singkat. Ia tersenyum lalu menjabat tangan orang-orang yang mengelilingi meja besar itu.

“Arfa akan masuk tim A bersama kalian,” Tutur pak adi. “sebagai leader dan juga ahli struktur.” Sambungnya.

Beberapa orang mengernyit menatap arfa.

“Lalu galih pak ?” Tanya Mey sambil celingukan mencari laki-laki yang bernama Galih yang sedari pagi tadi tidak terlihat batang hidungnya sama sekali.

“Galih resign dan katanya pindah ke Jakarta, kemarin dia menemui saya.” Jawab Pak Adi. Belle menatap perubahan raut wajah Mey. Belle berani bertaruh Mey pasti menyukai Galih dan kecewa karena pria itu resign tanpa memberitahunya terlebih dahulu. Tunggu, bukan hanya tidak memeberitahunya. Galih juga tidak memberitahu kami yang merupakan timnya. Kini mata Belle tertuju ke arah Ruri yang melihat Arfa –anak baru itu– dengan raut merona.

“Dan ehemmm ehem... Arfa ini keponakan saya. Jadi bimbing dia dengan baik, karena Arfa masih terbilang baru di dunia proyek ini.” Tambah Pak Adi disambut anggukan para karyawan. Belle mencuri lirik pria tinggi yang terhalang beberapa orang dari sisinya itu. Seperti pernah melihatnya entah dimana.

Belle menatap macbook-nya –yang sudah tertata rapi di atas meja bundar– bersama macbook dan berbagai jenis laptop lain dari timnya– dengan datar. Dava sudah terlarut dalam pekerjaannya setelah tadi Belle memberikan gambar bestek kepadanya. Raut kecewa masih nampak di wajah Mey.

“Kamu umur berapa fa ?” Tanya Ruri memecah keheningan. Beberapa ada yang melirik, beberapa ada yang mencuri dengar, beberapa ada yang tidak mengacuhkan.

Arfa tersenyum tipis. “25.” Singkatnya. Ruri mengangguk seraya membentuk huruf ‘o’ di mulutnya.

“Seumuran sama saya.” Gumam Ruri lalu tersenyum semanis mungkin. Tama dan Ryo mendelik menatap Ruri dan Arfa bergantian. Seolah-olah berkata ‘hei, ini jam kerja, profesional please!’

Arfa berdehem. Ia lantas mengarahkan matanya menatap Belle yang bersikap tak acuh terhadap apapun dan selalu memasang ekspresi datar. Tanpa senyum. Tanpa sepatah kata keluar dari mulutnya.

***

Belle menatap heran pria yang kini berjongkok dihadapannya. Arfa. Pria itu tersenyum lebar sambil menopangkan dagunya dengan kedua tangan. Belle mengernyit heran.
“There's something wrong ?” Tanya Belle lalu menyadari sesuatu, sehingga ia memutar kursinya ke arah meja lalu membenarkan rok span selututnya.
“No, its not.” Balas Arfa masih tersenyum.

Belle meliriknya dengan risih.

“Saya sama sekali gak melihat rok kamu kok, saya cuma heran di tim saya ada yang benar-benar diam dan gak bicara selama diskusi proyek tadi.” Tambah arfa. 

Belle mengulum bibirnya lalu kembali memutar kursinya ke arah arfa. “Saya bekerja secara profesional, hal lain bukan urusan kamu.” Timpalnya dingin. Ia lantas bangkit, mengambil tasnya, lalu berjalan pergi melewati Arfa tanpa menoleh. Arfa bangkit lalu tersenyum tipis menatap punggung mungil Belle.

Belle menyetir mobilnya dengan tidak tenang. Baru kali ini –dalam seumur hidupnya – ada orang yang bersikap seperti itu terhadapnya. Arfa. Laki-laki itu sudah berusia 25 tahun dari yang ia tak sengaja dengar tadi. Ditambah dia adalah seorang leader – yang entah bagaimana itu bisa terjadi– mungkin karena Pak Adi adalah pamannya. Tapi sikapnya tidak mencerminkan seperti laki-laki dewasa maupun leader. Belle melempar pandangannya keluar jendela. Ia kembali menemukan penjaja koran yang setiap hari dilihatnya. Belle termangu sebentar. Ada apa dengannya hari ini ? Arfa adalah laki-laki yang baru dikenalnya tadi dan kini ia sudah sepenuh hati kesal dan terus memikirkannya. Memikirkan Arfa ?

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: May 20, 2015 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Somewhere I BelongWhere stories live. Discover now