Chapter 1

44 0 0
                                    

2015, Malang.

Belle mendengarkan pengarahan direktur tentang tender yang baru akan di lelang minggu depan. Sesekali ia menulis beberapa point di buku notes-nya.

“Ini dokumen RKS nya, pelajari saja,” Ujar direktur yang dikenal sebagai pak adi itu. Pemilik perusahan adi prayogo construction. Perusahaan  tempat Belle bekerja kini. “Dan Bell, buat gambar bestek agar bisa di olah oleh dava.”

Belle mengangguk mengerti. Dava adalah rekan timnya yang merupakan ahli manajemen kontruksi yang mengatur segala pemasukan, pengeluaran dan perkiraan jadwal proyek agar di dapatkan dana dan waktu yang relevan.

“Untuk tim B siap ke surabaya ?” Tanyanya lagi.

“Siap.” Kata Deri dan teman-teman seraya mengangguk.

Belle baru selesai membereskan segala sesuatu yang berserakan di atas mejanya ketika Deri tiba-tiba menghampirinya. Deri bersandar pada bilik tembok pembatas karyawan.

“Kemarin gimana lancar finishingnya ?” Deri tersenyum simpul.

“Ya.” Jawab Belle seraya mengangguk.

Deri mengulum bibirnya. “Ayo makan siang bareng Bell.”

Belle spontan menatap Deri. Ingin rasanya menolak. Tapi kini Deri sudah menarik lengannya. Oh , baiklah sekali ini saja, Batin Belle.

Belle menjajaki kakinya turun dari mobil. Deri membawanya kesebuah restoran dimsum yang tidak jauh dari kantornya.

“Pesen apa Bell ?” Tanya Deri saat mereka sudah duduk di kursi restoran di lantai 2.

“Sama aja.” Balas Belle datar.

“Kalau gitu ramen sama dimsum aja ya,” Ucap Deri sambil menulis di sebuah kertas pesanan. “Minum ?”

“Air putih.” Jawab Belle. Masih dengan ekspresi wajah yang sama seperti tadi.

Seorang pelayan menghampiri lalu mengambil pesanan Deri. Deri mengulum senyum menatap gadis di depannya kini.

“Terakhir kita makan siang bersama satu setengah tahun yang lalu loh ingat ?”

Belle tersenyum tipis. Tipis sekali sebagai formalitas.

“Karena mulai besok dan enam bulan ke depan akan mengurus proyek di surabaya, jadi aku mengajakmu saat ini, gapapa kan ?”

Belle mengangguk.

“Kamu ada masalah Bell ? Aku belum pernah melihatmu tertawa mulai tiga tahun lalu semenjak kita kenal, orang-orang di kantor mulai khawatir.” Tutur Deri seraya menatap mata hitam Belle.

“Tidak ada,” Jawab Belle berbohong. “Namun, terimakasih karena selama ini sering membantuku dalam urusan proyek.”

Deri tersenyum hambar. Bukan itu. “Kalau ada masalah cerita aja Bell, manusia gak bisa hidup sendiri, semua membutuhkan teman untuk membantu memikul beban.”

Belle menatap meja restoran yang masih kosong. “Mungkin.” Ucapnya samar.

“Sebenarnya aku mau kamu tahu, tapi ingat ini pernyataan, aku akan membuatnya jadi pertanyaan setelah kembali dari Surabaya,” Deri menatap Belle kikuk. “Aku suka sama kamu Bell, dari semenjak kita ketemu tiga tahun lalu di interview, aku merasakan ada yang berbeda di mata kamu.”

Glek. Belle menatap pria yang ada di hadapannya  ini tegang. Apa katanya tadi ?  “Tapi a-“

“Ini masih pernyataan Bell, aku gak mau dengar tanggapan apapun dari kamu,” Potong Deri. “setidaknya tidak sekarang.”

Belle mengerjap. Ia tidak tahu apa yang harus di katakannya lagi. Tidak tahu harus bersikap bagaimana lagi. Belle menganggap Deri sebagai seorang kakak. Deri sering membantunya jika ia kesulitan dalam hal menyelesaikan proyek. Secuil pun Belle tidak menaruh hatinya pada Deri. Pria itu harus tahu. Belle tidak mau berurusan dengan siapapun dan tidak mau menyakiti siapapun.

“Ini pesanannya pak, bu,” Pelayan restoran meletakkan pesanan Belle dan Deri di atas meja. “Masih ada yang kurang ?” Tanyanya lagi.

Deri menggeleng. “Terimakasih.”

Pelayan tersenyum, lalu kembali ke tempatnya.

“Ayo makan.” Deri tersenyum simpul.

***

Belle menyeret langkahnya memasuki dapur. Mama tersenyum simpul menyambut kedatangannya.

“Udah pulang ?”

Belle tersenyum.

“Nih coklat hangat Bell.” Ucap Mama seraya memberikan mug yang asapnya masih mengepul.

“Makasih ma,” Belle duduk di meja makan. Mama menghampiri Belle lalu duduk berhadapan.

“Mama besok mau ketemu temen mama yang lagi kesini Bell, dia sama anaknya-“

“Ma, kayanya kita udah ngomongin ini terlalu sering deh,” Potong Belle.

Mama mengernyit.

“Belle gak bisa ma, sampai kapanpun.” Sambungnya.

Mama mengulum bibirnya wajahnya berubah sendu. “Apa salahnya mama pengen anak mama balik Bell ?” Mama menatap mata hitam Belle. “Ini sudah tujuh tahun Bell, kamu harusnya sudah hidup!”

Belle balik menatap sedih mamanya. “Apa mama bisa ngelupain papa ?” Tanya Belle balik.

Mama menatap nanar Belle. “Tentu saja tidak akan Bell, tidak akan pernah bisa, sampai kapanpun.”

“Mama udah tahu jawabannya kan ?” Belle tersenyum kecut.

“Tapi kamu masih 29 tahun Bell, 29!” Balas mama tak mau kalah.

Belle menggenggam erat mug hangat di tangannya lalu tertunduk sedih.

“Ma, please...” Lirih Belle.

“Bell, please...” Lirih Mama.

Keduanya terpaku menatap mug yang masih mengepul. Keheningan merebak membawa mereka kepikiran masing-masing. Ke dunianya masing-masing. Setetes air mata jatuh di wajah Belle. Sakit di hatinya masih ada dan tidak akan pernah kering.

***

Suasana kantor terlihat lumayan lengang karena tim B bertugas di Surabaya. Belle meletakan tas di sebelah kursinya lalu membuka macbook-nya. Setelah mempelajari RKS kemarin kini ia melanjutkannya dengan menggambar bestek. Belle menghela napas. Syukurlah ia tidak harus bertemu Deri untuk saat ini. Entah apa yang dilihat Deri dari dirinya. Belle hanya wanita biasa saja. Melakukan perawatan kulit seperti wanita lain seusianya saja jarang. Rambutnya yang lurus juga jarang ia bawa kesalon, paling kesalon hanya untuk memotongnya saja. Itupun setahun sekali. Belle merasa tidak pantas jika ia menikmati kehidupan dengan seperti itu. Ia seharusnya juga tidak pantas berada di sini. Dan menapaki bumi ini. Belle membuka folder foto di macbook-nya. Ia memegang dadanya yang terasa panas dan berdenyut-denyut. Ini menyakitinya.

Somewhere I BelongWhere stories live. Discover now