"Ayah pulang!" Ivan yang mengenakan setelan kantor dengan raut lelah membuka pintu rumah pelan karena hari sudah larut malam.
Mendengar samar-samar sahutan sang istri dari ruang keluarga, Ivan pun melangkah menghampiri. Baru saja senyumnya hendak terbit saat mendapati pucuk kepala istrinya menyembul dari balik punggung sofa, Ivan dibuat membeku melihat kehadiran orang lain di sana.
"Sayang, kenapa ada anak itu di sini?" tanya Ivan dengan nada dingin. Raut lelahnya kini berubah mengeras dengan alis menukik dan tatapan tajam, menusuk tepat pada mata sosok mungil di sebelah istrinya.
Seorang remaja laki-laki yang dipanggil 'anak itu' hanya mencuri pandang sekilas, kemudian langsung menunduk takut. Kanin meremat bantal sofa yang dipeluknya untuk menyalurkan rasa gugupnya. Sementara itu, Rara, istri Ivan, menghela napas panjang sebelum memberi penjelasan pada suaminya.
"Tadi Kanin aku suruh jagain Kinara selagi aku ngajar les, Mas. Kamu kan ngabarin kalau bakal pulang telat karena ada kerjaan tambahan, yaudah aku minta tolong Kanin. Kinara sendiri juga suka kok sama dia."
"Aku yang gak suka," sela Ivan ketus, lalu membawa kakinya melangkah menuju dapur tanpa berniat mendengarkan penjelasan Rara lebih lanjut.
"Mas!" Rara menyadari perubahan mood Ivan-yang memang sudah dia perkirakan, bahkan sebelum ia memutuskan untuk mengundang Kanin ke rumah-membuatnya mau tak mau harus membujuk suaminya itu (lagi). "Kanin di sini dulu aja ya. Atau kalau ngantuk kamu langsung masuk kamar tamu aja."
Kanin menggeleng pelan. "Kanin belum ngantuk kok, Kak. Kalau boleh, Kanin maunya pulang aja, Kak."
Rara langsung menolak dengan alasan bahwa hari sudah larut. Ia mengusap lembut kepala adik iparnya itu, sebelum pamit untuk menyusul Ivan ke dapur.
"Mas nggak bisa bersikap biasa aja ke Kanin? Sekalii aja. Aku gak tega liatnya, Mas."
Ivan yang tengah mengambil minum langsung menghentikan kegiatannya, demi menatap tajam wajah istrinya. "Kamu apa-apaan sih? Sudah berapa kali kubilang, aku gak mau lihat anak itu lagi, apalagi sampai ngebiarin dia masuk rumah ini. Kenapa kamu malah suruh dia jagain Kinara?! Udah gila kamu ya?"
Rara menghela napas berat sambil mengusap wajahnya dengan pasrah. Dia sudah berkali-kali menghadapi suaminya yang bersikap seperti ini kepada adiknya sendiri. Laki-laki ini tidak pernah bisa menerima kehadiran Kanin di antara keluarga kecilnya. Alasannya sudah Rara hafal, tapi tidak pernah bisa ia pahami.
"Kok kamu mikirnya gitu sih, Mas? Kanin itu anak baik loh. Kinara suka sama dia."
"Sudah kubilang, aku yang nggak suka, Rara." Ivan menekankan kalimat 'tidak suka' untuk yang kedua kalinya. Dia juga memutus kontak mata dari istrinya, lalu menutup wajahnya dengan telapak tangan. Bukannya merasa nyaman pulang ke rumah, Ivan malah dibuat tertekan dengan kehadiran Kanin dan sifat keras kepala Rara, karena di mana ada Kanin, maka di sanalah keributan terjadi.
"Kak Rara." Panggilan Kanin membuat Ivan dan Rara menoleh ke arah pintu dapur. "Kanin lupa kalau ada tugas buat besok. Jadi, Kanin pamit pulang aja ya."
Rara yang sudah bersiap membantah disela oleh Kanin yang langsung meraih tangannya lalu menciumnya. Anak itu juga menghampiri Ivan, tapi lelaki itu bahkan tidak sudi memandangnya. Dengan canggung Kanin menurunkan tangannya yang tak terbalas, lalu segera berpamitan pada Rara.
"Aku pulang dulu ya, Kak. Makasih. Assalamualaikum."
"Eh tapi-" ucapan Rara kembali terpotong saat Kanin berlalu pergi begitu saja. "Waalaikumussalam."
Setelah memastikan Kanin keluar rumah dan menutup pintu rumah, Rara menoleh kembali pada Ivan yang masih memalingkan muka. "Mau sampai kapan begini terus, Mas? Adik yang baru aja kamu abaikan jabatan tangannya itu nggak punya salah apa-apa."
KAMU SEDANG MEMBACA
Kanin
Подростковая литератураNamanya Kanin. Dalam bahasa Sansekerta, artinya 'luka'. Papa yang memberi nama itu, sebagai wujud nyata atas segala luka perih yang ditorehkan Mama. Tidak, Papa sama sekali tidak membenci Kanin. Setidaknya itu yang Kanin ketahui. Justru hanya beliau...