Chapter 3

810 161 23
                                    

Kala sepasang kelopak matanya mengerjab, Hinata sadar telah kembali ke dalam kamar. Entah siapa yang membawanya turun dari rumah pohon. Mungkin Sai? Bisa jadi, sebab saat itu hanya ada mereka berdua.

Mengingat apa yang dia dengar di rumah pohon, kepalanya seolah diajak berputar. Tahun 1654, di bawah kepemimpinan shogun kedua. Hinata tidak bisa menemukan letak benang merah kusut yang membuat kisah ini terkesan lebih realistis. Memang bisa, seseorang di masa depan terlempar jauh ke masa lalu? Bahkan reinkarnasi yang sering didengungkan banyak orang cukup muskil ia percayai.

"Gila!" Hinata menghela napas sembari mengumpat. Di saat seperti ini kewarasannya dipaksa tetap terjaga, walau mentalnya tengah dijungkir balikkan. Dia harus bisa mengendalikan diri, meski di dalam hati ingin berteriak dan mengamuk.

Maka pagi itu di dalam kamar, Hinata bersila. Memejamkan mata seolah bersemedi, menautkan kedua tangan sembari menghirup oksigen dalam-dalam. Memfokuskan diri, hati, pikiran, jua atmosfer di sekitar ke dalam satu keselarasan guna membawa ketenangan jiwa. Atau dalam yoga ini serupa asana yang diimbangi pranayama dalam tujuannya menggapai keseimbangan. Oke, setiap masalah pasti memiliki akhir, dan setiap pintu masuk pasti terdapat jalan keluar.

"Tetap tenang, kau harus tenang Hinata. Harus tenaaang!" Keputusannya membuka mata diiringi pemikiran untuk mulai membiasakan diri terhadap situasi ini. Caranya dengan mempelajari sikap orang-orang di sini, lalu menirunya. Sebisa mungkin memiliki kesempatan keluar agar memperoleh lebih banyak informasi. Jadi, sudah semestinya Hinata mencoba akrab dengan banyak orang di rumah ini, terutama para pelayan.

Api semangat dalam jiwa Hinata sedikit berpendar, membuatnya menghunus tangan ke tembok, memberi satu pukulan telak. Bouggh!

"Ckck, kau pikir aku akan membiarkanmu mempermainkanku? Lihatlah masalah! Aku tidak akan menyerah! Akan kuhadapi semuanya sampai Dewa membangunkanku dari mimpi ini!"

.

.

"Nona, Anda diminta Naruto-sama ke ruangannya."

Hinata lekas menemui Naruto usai titah tersebut sampai di telinganya.

Dalam ruangan yang dimaksud, Naruto telah menunggu. Sang pemuda terlihat sedang menorehkan tinta di atas selembar genkō yōshi berwarna keburaman.

Kala shoji digeser, pemandangan yang Hinata temukan pertama kali selain pemuda itu ialah, lukisan bangau mahkota merah yang terilustrasi indah dalam byobu. Jika diamati lagi, 'ruang kerja' Naruto memang cukup estetis dan berseni. Terdapat tokonama yang berisi keramik-keramik dan rangkaian bunga ikebana. Juga, beberapa katana tampak diletakkan pada rak pedang.

Menyadari kehadiran Hinata, sepasang iris sebiru langit itu meliriknya, "Kenapa terus berdiri di sana? Sedang menjadi komainu?"

Hinata mencebik. Enak saja disamakan patung penjaga pintu. Dia pun lekas masuk, "Ku dengar Anda memanggil ku?"

Naruto tampak menggerakkan tangannya, isyarat agar Hinata mendekat. "Ya, aku ingin membuktikan perkataanmu. Kemarilah."

"...?" meski bingung, Hinata menuruti saja perkataan Naruto. Ia duduk bersimpuh di depan pemuda itu-terpisah meja pendek yang digunakan sang pemuda sebagai alas menulis.

Kelihatannya Naruto telah menyelesaikan tulisannya. Genkō yōshi tersebut dia lipat, kemudian mengeluarkan gulungan kertas yang lebih panjang. "Sebelum menjahit, tentu kau harus membuat polanya dulu 'kan?"

"Be-benar,"

"Kalau begitu buatlah. Aku ingin pakaian yang terkesan mewah dan terlihat gagah saat dikenakan. Terutama hakama yang ku jadikan cendera mata."

River Flows In YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang