Chapter 8

3 1 0
                                    

Di sore hari, Gayoung menunggu seseorang di halte sekolah, tentu saja menunggu Chan. Chan janji akan mengantar Gayoung pulang tapi setelah sekolah sepi. Entah apa yang ada di pikiran Chan, Gayoung juga sempat menebak-nebak alasan Chan seperti itu. Dia berniat menyembunyikan hubungannya atau sekadar menghindari ejekan temannya.

Sebuah klakson dari mobil sport biru menyadarkan lamunan Gayoung. Sontak Gayoung jalan menghampiri mobil itu dan langsung masuk tanpa di bukakan oleh Chan.

“Chan, ada yang ingin kukatakan.”

“Katakanlah.”

“Ijinkan aku menginap di rumahmu.”

Akibat ucapan Gayoung yang di luar ekspektasinya, refleks kaki kirinya menginjak pedal rem membuat Gayoung terbanting ke depan karena tindakan Chan yang tiba-tiba. Untung sebuah sabuk pengaman menyelamatkannya.

“W–what? Aku tak salah dengar?” tanyanya masih tak percaya.

“Aku ingin menyegarkan otakku. Aku tidak bisa pergi kemana-mana tapi sekarang aku punya tempat lain yang bisa kugapai. Rumahmu! Ibuku pasti akan mengizinkan aku menginap disana.”

“Ya tuhan, tidak. Tidak mungkin juga ibumu mengizinkan. Tidak, tidak…! Ingat, aku hanya tinggal sendiri dan pembantu yang datang sewaktu-waktu aku ingin makanan rumahan.”

“Bisakah kau sedikit mengancamnya? Aku ingin bernafas tanpa berfikir.”

Gayoung menautkan kedua tangannya lalu digosok-gosokkan seperti menggosok teko aladin. Gayoung menatap Chan penuh harap.

“Aku sudah mengemas keperluanku,” lanjutnya.

“Baiklah, kalau kau memaksa.”

Sesampainya di kediaman keluarga Shin, Gayoung menyelipkan tangan kirinya ke tangan kanan Chan. Apa itu namanya lancang? Tidak tahu juga. Tangannya refleks saja seperti ada yang menariknya untuk menggenggam tangan Chan.

Saat melewati pintu, Chan mengedarkan pandangannya. Baginya ada sesuatu yang aneh, keadaan di rumah ini sangat sumpek dan seram padahal rumah ini terkesan terbuka dan begitu banyak ventilasi udara yang masuk. Bahkan warna dindingnya pun terlihat menenangkan.

Aigoo, anakku sudah pulang ternyata. Oh halo nak Chan,” sapa Nyonya Shin yang baru saja keluar dari salah satu ruangan yang Chan yakini ruang kerja Nyonya Shin. Kenapa? Sebenarnya pintu ruangan itu sedikit terbuka hingga menampakkan kursi tunggal serta meja yang bertumpuk berkas-berkas.

“Halo, eomoni. Apa kabar?”

“Baik. Ini baru pertama kalinya kau berkunjung ke sini, andai tahu kau akan berkunjung mungkin aku akan menyiapkan makan malam.”

Gwenchanayo. Eomoni, tujuanku ke sini ingin meminta izin. Bolehkah Gayoung tinggal bersamaku?”

Nyonya Shin terperanjat kaget, sontak air yang sedang ada di tangannya tumpah ke lantai. Refleks Gayoung mengambil kain lap terdekat dan membersihkannya.

Eomma, Chan ingin tahu lebih banyak tentangku begitupun aku. Setidaknya berikan waktu seminggu untuk kami agar saling mengenal lebih dekat.”

“Ayahmu pasti tidak akan setuju.”
Chan dan Gayoung saling berpandangan, lantas Chan mengeluarkan ponselnya.

“Sepertinya tuan Shin akan setuju. Aku akan bilang pada ayahku,” raut wajah Nyonya Shin berubah, menurut Gayoung ekspresinya sangat kentara sedang menyembunyikan kecanggungan? Nyonya Shin mengusap rahangnya dan mengangguk.

“Benar juga. Gayoung-ah, pergilah. Biar eomma yang bicara pada ayahmu.”

Dalam hati Gayoung teriak kesenangan. Tanpa basa-basi dia langsung berlari ke kamarnya, pakaian dan beberapa barang lainnya sudah dikemas semalam, untuk menghindari kecurigaan dia duduk menunggu beberapa menit sambil memeluk potret dirinya dan Hayoung yang berukuran 21 x 29 cm.

MAMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang