Dari perspektif penyair, puisi merupakan ungkapan perasaan, pikiran, dan perenungan yang mengandung makna dan niatan tertentu. Oleh karena itu, dalam menulis puisi, hal pertama yang wajib dimiliki penyair adalah imajinasi. Imajinasi sejatinya merupakan daya ingat manusia untuk menggambarkan sebuah objek yang "ada" dan "logis". Gambaran tersebut dapat diperoleh baik melalui pegalaman maupun pengamatan. Dengan demikian, puisi haruslah mampu merangsang pembaca untuk membayangkan suatu imaji atau objek yang konkret. Maka, salah satu tujuan dari keberadaan puisi adalah mengkonkretkan yang abstrak. Sebagai contoh, kata "cinta" merupakan kata yang abstrak, tidak bisa dibayangkan bendanya. Dalam puisi, penyair lazim menyandingkannya dengan metafora, seperti "mawar" atau "merah". Akan tetapi, seiring waktu metafora-metafora ini pun menjadi terlalu sering digunakan. Di sini, peran kreativitas menjadi penting agar seorang penggubah puisi tidak jatuh dalam klise. Kreatif erat kaitannya dengan keberanian dan kebebasan dalam menciptakan atau melakukan hal-hal baru dan tidak lazim. Dalam berpuisi, dikenal istilah lisensi puitika yang berarti kebebasan dalam berpuisi. Dapat disimpulkan, landasan pertama bagi seorang penyair adalah keberanian untuk menjadi tidak biasa. Lantas, teknik-teknik apa sajakah yang dapat diterapkan untuk menjadi tidak biasa?
Batu pertama untuk membangun puisi adalah kata. Langkah pertama dalam menulis puisi adalah memilih diksi. Kata, sebagai dirinya, sejatinya merupakan metafora. Segala sesuatu di alam semesta ini awalnya tidak bernama. Kemudian, dengan adanya kata, manusia punya konotasi untuk merujuk benda-benda. Seiring berjalannya waktu, kata sehari-hari telah menjadi denotasi. Metafora-metafora yang ada menjadi metafora leksikal, opaque metaphor, dan metafora mati. Seperti yang telah dijelaskan di atas, tujuan puisi adalah mengkonkretkan yang abstrak alias mengembalikan denotasi menjadi konotasi. Untuk memenuhi hal tersebut, teknik-teknik yang dapat diterapkan ialah memberi karakter kepada kata; menciptakan metafora kreatif alih-alih menggunakan metafora leksikal; menjabarkan suatu keadaan atau perasaan secara implisit melalui penggambaran suasana alih-alih langsung menyebutkan "ramai" atau "bahagia". Akan tetapi, asosiasi antarkata perlu diperhatikan. Hindari mencampuraduk "komunitas kata" yang berbeda karena akan mengganggu imajinasi. Disarankan juga memilih metafora dari komunitas kata yang dekat dengan kita. Misalnya, mahasiswi Matematika hendaknya memilih diksi dalam lingkup Matematika. Pun pencinta alam hendaknya memilih diksi yang berhubungan dengan alam. Dengan demikian, suasana yang dibangun oleh puisi tersebut semakin kokoh karena didukung dengan latar belakang penyair yang kuat.
Dalam perspektif teks, puisi merupakan gugus bahasa yang disusun dalam susunan larik dan bait, memiliki irama, dan terwujud dalam tipografi tertentu. Setelah mengelola kata, tugas penyair selanjutnya adalah merangkai kata-kata tersebut menjadi satu kesatuan puisi yang utuh, yakni dalam susunan larik, bait, dan tipografi. Puisi berbeda dengan prosa. Sajak berbeda dengan cerita. Larik tidak sama dengan kalimat. Seperti yang disinggung di atas, terdapat lisensi puitika atau kebebasan dalam berpuisi yang membuat baris-baris penyusun puisi tidak terikat aturan-aturan dalam kalimat. Banyak kata tiap baris, penggunaan huruf kapital dan tanda baca diserahkan kepada penyair dengan maksud yang hanya diketahui penyair. Sebagai contoh, baris dalam puisi bisa saja hanya terdiri dari satu kata, tetapi bisa juga terdiri dari kalimat panjang. Apabila dalam memilih diksi, kita diarahkan untuk menciptakan metafora kreatif, dalam merangkai kata menjadi larik, kita dapat menciptakan gabungan kata, frasa, atau klausa yang tidak lumrah. Misalnya, "duta antarnegara" dan "kurir lintas provinsi" merupakan frasa yang sudah lumrah dan diketahui maknanya. Bagaimana dengan "duta antarkepala" atau "kurir lintas pikir"? Teknik lain dalam merangkai larik adalah dengan mengganggu logika semantik tetapi tetap mempertahankan logika gramatikalnya. Perhatikan bahwa kalimat "Tikus yang berkeliaran di rumahku" dan "Kupu-kupu yang mengepakkan sayap di perutku" memiliki struktur gramatikal yang sama. Akan tetapi, kalimat pertama merupakan kalimat yang lumrah dan logis. Adapun kalimat kedua merupakan kalimat yang tidak logis secara semantik (bagaimana kupu-kupu bisa ada di dalam perut), tetapi mampu membangkitkan imajinasi.
Sebagai sebuah "teks", puisi disusun oleh kata. Kata disusun oleh huruf. Huruf merupakan bunyi, satuan terkecil dalam gugus bahasa. Maka, kata adalah rangkaian bunyi. Karena larik adalah rangkaian kata, larik merupakan rangkaian dari rangkaian bunyi. Dengan kata lain, larik adalah irama dan nada. Oleh karena itu, merangkai larik berarti merangkai irama, mengaransemen bunyi. Itulah sebabnya beberapa penyair memerhatikan keserasian bunyi dalam sajak-sajaknya. Begitupun dalam penyusunan bait yang merupakan kumpulan larik dengan satu pokok pesan utuh. Kembali menilik lisensi puitika, meski bait lazimnya terdiri dari beberapa larik, terdapat juga bait yang hanya terdiri dari satu larik bahkan satu kata. Penyusunan bait biasanya dilakukan untuk memenuhi pertimbangan tertentu. Bait-bait ini kemudian membangun puisi. Perwajahan puisi secara keseluruhan inilah yang disebut tipografi. Tipografi puisi dapat dibentuk untuk memenuhi kebutuhan estetika, maupun menyiratkan makna tertentu. Itulah mengapa tipografi puisi tidak harus lurus atau takuk seperti paragraf. Sutardji Calzoum Bachri, misalnya, menulis puisi dalam tipografi yang terkesan tidak beraturan, tetapi sebenanya mengikuti bentuk tertentu. Ada juga Afrizal Malna yang menulis puisi dalam perwajahan paragraf. Penyair bebas membangun tipografi dan indentasi untuk bait-bait sajaknya.
Dalam perspektif fungsi sosial di masyarakat, puisi merupakan representasi realitas yang diungkapkan dalam bahasa puitik, memiliki makna muatan tertentu, dan memiliki dampak sosial tertentu. Ketika berbicara tentang puisi, kita tidak akan lepas dari makna. Sajak adalah representasi realitas yang dilihat penyair baik melalui pengalaman maupun pengamatannya. Karena itulah dalam puisi, penyair seringkali menyisipkan pesan-pesan tersirat, baik berupa kritik sosial maupun sekadar refleksi diri. Begitulah puisi dapat memberikan dampak sosial, ia bisa menjadi media perjuangan, sarana dakwah, propaganda, sampai alat politik. Unsur tematik dalam puisi tidak bisa dipaksakan karena pengalaman setiap penyair sudah tentu berbeda-beda. Hal penting---setidaknya menurut saya---yang perlu diperhatikan oleh penyair adalah kejujuran dalam menulis puisi. Sajak yang berakar dari refleksi diri yang jujur akan dapat menghubungkan orang-orang yang pernah mengalami perasaan serupa.
Note: Ini tulisan buat UTS. Tentu saja, teknik menulis puisi di atas nggak selalu benar. Berasal dari teknik yang disampaikan dosen. Itu pun hanya yang berhasil diterima olehku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kupu-kupu di Dalam Sajak
PoetryMengapresiasi karya sendiri itu juga termasuk seni :) [Kumpulan Puisi dan Cerita Pendek]