Nadine Candrakirana mengenal Pak Handoko sebagai dosen matakuliah Kewarganegaraan yang disiplin dan berintegritas. Beliau tidak membiarkan mahasiswanya terlambat masuk kelas. Datang lewat dari pukul sembilan berarti mengatakan selamat tinggal pada kuliah hari itu, pun pada presensi yang dianggap alpa. Yang Nadine kagum, tidak sekadar menuntut mahasiswa untuk disiplin, Pak Handoko telah menerapkan prinsip disiplin itu untuk dirinya sendiri selama puluhan tahun, menjadi teladan bagi orang lain. Oleh karena itu, ketika hari ini dosen karismatik itu tidak tampak batang hidungnya, Nadine heran bukan buatan. Jarum jam di kelas menunjukkan pukul sembilan lewat lima belas. Akan tetapi, Pak Handoko belum memasuki kelas. Tak ada satu pun kabar mengenai alasan absennya pria itu meski sekadar kabar burung atau hoaks.
Nadine adalah orang yang suka cari aman. Makanya, ia tidak pernah terlambat dan patuh pada peraturan. Ia tidak mau dicap buruk yang berimbas pada terancamnya nilai akhir mata kuliah. Di sisi lain, Nezar Sandikala adalah laki-laki yang tidak peduli apa kata orang, selama ia merasa dirinya benar. Salah satu yang ia pegang, penampilan tidak berkorelasi dengan kemampuan menyerap informasi. Makanya, pakaiannya tiap kuliah cenderung asal dan tidak memerhatikan norma-norma yang lazim berlaku di dunia perkuliahan. Pun rambutnya dibiarkan panjang. Oleh karena itu, Nezar adalah mangsa empuk bagi Pak Handoko untuk dimarahi. Keanehan kedua pagi ini, Nezar datang lebih awal dari Nadine dengan pakaian bersih dan rambut yang dipotong rapi.
"Habis potong rambut, Zar?"
Nadine bukan wanita yang gemar berbasa-basi. Namun, melengkapi keanehan hari ini, ia tidak tahan untuk tidak berkomentar. Lagipula, ia bosan karena Pak Handoko tak kunjung datang.
"Terpaksa. Kemarin bapak ibuku datang dari desa. Habis aku dimarah-marahi mereka. Semua hal mereka komentari. Katanya kamarku berantakan-lah. Katanya aku enggak bisa ngurus diri-lah. Katanya aku main terus-lah."
Kan memang benar, Nadine membatin.
"Mana sempat aku beres-beres kalau tugas kuliah enggak habis-habis. Dikiranya aku cuma tahu main apa. Lagian yang begitu apa pengaruhnya, sih? Toh, aku nyaman-nyaman saja. Yang penting 'kan aku enggak lupa belajar."
Bertolak belakang dengan Nadine, Nezar adalah pria yang banyak bicara. Sekali dipancing, keluar semua yang ada dalam kepalanya. Seakan-akan ia tidak punya privasi dan rahasia.
Waktu terus berjalan. Kira-kira pukul sembilan lewat dua puluh menit, barulah sosok Pak Handoko terlihat memasuki ruang kelas. Peluh di dahi dan napas yang memburu menandakan beliau habis berlari.
"Waduh, maaf saya terlambat. Tidak sengaja saya beretemu teman lama dan nyaris lupa waktu," akunya ketika berdiri di depan para mahasiswa.
"Kalau kami telat, kami tidak boleh masuk kelas. Harusnya karena Bapak telat, Bapak juga tidak boleh masuk kelas," tukas Nezar. Laki-laki itu memang tidak punya rasa takut. Tipikal pembangkang akut. Yang Nadine kagumi adalah, meski terkesan berandal, Nezar hanya pernah terlambat satu kali dan tidak pernah membolos selama mengambil matakuliah Kewarganegaraan. Pantas kalau dia merasa berhak berkata demikian.
"Wah, iya juga, ya. Tapi kalau saya enggak boleh masuk, nanti siapa yang ngajarin kalian?"
"Tidak ada, Pak. Kelasnya diliburkan saja."
Mendengar pernyataan Nezar, Nadine mengerutkan kening. Kalau temannya itu berharap kelas ditiadakan, kenapa dia tidak cabut dari awal? Apa jangan-jangan dia hanya pura-pura supaya bisa balas dendam?
"Jangan begitu, dong. Nanti saya tambah salah kalau meliburkan kalian tanpa alasan. Begini saja, sebagai permohonan maaf, kalian boleh beri saya hukuman, tapi yang masuk akal, ya."
Nadine mendapati sebersit senyum miring di wajah Nezar. Seperti praduganya, laki-laki itu cuma mau mengerjai sang dosen. Nezar adalah definisi pemberani. Di sisi lain, sikap Pak Handoko yang mengakui kesalahan alih-alih merasa direndahkan membuat Nadine menaruh respek setinggi-tingginya. Pak Handoko adalah seorang akademisi sejati. Ah, ya, rasanya Nadine tidak perlu mendeskripsikan diri sendiri. Toh, ia cuma mahasiswi yang berbakat menjadi pemerhati. Dan berdasarkan observasi, Nadine mendapati Pak Handoko dan Nezar punya logat yang mirip. Barangkali mereka berasal dari daerah yang sama. Siapa tahu kalau teman lama Pak Handoko adalah orangtua Nezar?
Hna_13, November 2022.
Note: Ingat cerpen "Pembawa Keberuntungan" di The Tree? Tadinya itu yang mau aku kumpul buat tugas. Tapi nggak jadi. Aku bikin cerita baru yang lebih sederhana meski premisnya sama-sama perihal keterlambatan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kupu-kupu di Dalam Sajak
PoetryMengapresiasi karya sendiri itu juga termasuk seni :) [Kumpulan Puisi dan Cerita Pendek]