03 Pulang

147 96 10
                                    

Masih pengen cerita ini lanjut? Tolong promosikan karena
Viewernya masih sedikit sekali, yg pasti akan mempengaruhi mood saya melanjutkan book ini. Play song "Wanita" Ismail Marzuki.

Ini adalah kali pertama bagi menonton pertunjukan dansa orang pribumi yang dilakukan mirip seperti orang Eropa. Di sudut ruangan- tidak beranjak dari sisi Satyo meski tetap menjaga jarak, gadis itu berusaha menyembunyikan rasa geli tatkala melihat beberapa tamu yang terlihat kaku kaki-kakinya saat menyelaraskan gerakan. Kalau itu dirinya mending mundur daripada mempermalukan diri sendiri.

Dan yang tidak kalah mencuri perhatian Asmaranti, Harsya memperdengarkan suara merdunya di hadapan para tamu. Masya Allah sekali! Asmaranti jadi berlipat kegagumannya pada pria tersebut. Lantas kedua sudut bibirnya tertarik ke atas menjadi sebuag lengkungan yang membuat deretan giginya yang rapi sedikit terlihat.

"Mas Satyo tidak ke tengah?"

Satyo menggeleng,"saya cukup jadi penonton."

"Tapi sepertinya ada yang tertarik dengan lantai dansa," bisik rekan Satyo seraya melirik Asmaranti yang terlihat bertepuk tangan kecil dengan satu kaki membuat ketukan seirama alunan nada yang dimainkan.

"Asmaranti hanya penikmat musik, tidak lebih."

"Loh siapa tahu Mbak Asmaranti memiliki suara semerdu buluh Perindu?"

Satyo menggeleng,"saya tahu persis dia tidak akan mau melakukannya," lelaki itu mengatakan dengan yakin seolah telah mengenal Asmaranti bertahan lamanya, padahal baru kemarin dipertemukan.

"Mungkin kalau Mas Harsya yang mengajak bernyanyi akan berbeda cerita."

Seketika itu senyum Satyo memudar, diamatinya binar Asmaranti yang memancarkan aura bahagia. Lalu ketika Satyo menyelidiki siapa yang sedang ditatap, ia menarik nafas panjang.

Harsya Ahmad. Pria itu sepertinya menempati sebuah ruang khusus di dalam hati Asmaranti. Satyo bukan laki-laki polos yang tidak bisa membaca raut muka lawan bicara, lagipula Asmaranti masih lugu, sangat ekspresif dalam menampakkan afeksinya.

"Bagaimana jika mas Harsya mengajak Mbak Asmaranti duet?"

"Selera Asmaranti berbeda dengan kita," Satyo menatap lurus kearah Harsya. "Dia tidak akan bernyanyi di tempat umum "

"Oh saya paham," senyum disunggingkan. "Pasti Mas Satyolah yang boleh menikmati merdunya suara Mbak Asmaranti."

Satyo tersenyum tipis saat tempo lagu berganti menjadi lebih lembut. Mematikan cerutu di atas asbak untuk mengakhiri kegiatan ahli hisab, disempatkannya meneguk air untuk menghilangkan aroma pada mulut.
"Lagunya indah sekali."

"Pasti Mas Satyo tidak tahan untuk berdansa?"

Satyo mengangguk, mendekati Asmaranti, ia menunduk untuk berbisik. "Temani aku dansa," pintanya.

Asmaranti menoleh tertuju pada wajah Satyo, "tidak."

"Kenapa?"

"Aku tidak tahu caranya berdansa," lagipula berdansa itu budaya Barat. Selama hidup, Asmaranti tidak pernah melakukannya sama sekali. Buat apa? Dengan siapa? Pernah ia menonton layar tancap film Tiga Dara yang sangat terkenal namun tidak pernah terbesit untuk meniru adegan-adegan manis di dalamnya.

"Ikuti saja langkah kakiku."

Asmaranti mengerjap kaget, mau dansa berdekatan dengan Satyo yang baru dikenal kemarin? Yang benar saja! Dia masih waras untuk tidak tergiur oleh pesona laki-laki keturunan ningrat tersebut. Asmaranti tidak mau disebut perempuan gampangan.

Perempuan Dalam PelukanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang