01 Tamu agung

262 124 28
                                    


Di wajahmu kulihat bulan yang mengintai di sudut kerlingan.

Sadarkah Tuan kau kau ditatap insan yang haus belaian?

Di wajahmu kulihat bulan menerangi hati gelap rawan, biarlah aku mencari naungan di wajah damai rupawan.

Serasa tiada jauh dan mudah dicapai tangan.

Ingin hati menjangkau kiranya tinggi di awan.

Di wajahmu kulihat bulan
bersembunyi di balik senyuman.

Jangan biarkan ku tiada berkawan

Hamba menantikan tuan.

Surakarta, 1962.

Untaian lirik lagu milik Ismail Marzuki yang menjadi favorit Asmaranti tertoreh pada selembar kertas dengan tulisan yang ia tahu siapa penulisnya. Entah sudah berapa ratusan kali ia membaca. Disimpannya kertas bewarna kuning tersebut di dalam sebuah buku lapuk yang selalu dia bawa kemanapun.

Harsyah Ahmad, laki-laki yang menjadi dambaan Asmaranti semenjak ia mengenalnya tiga tahun yang lalu saat Haji Syachroni mempertemukan keduanya di acara punggahan. Asmaranti ingin segera bertemu Sesampainya ia dirumah kedua orang tuanya. Maklum sebagai anak rantau dia numpang hidup dan sekolah di biayai sang Kakak, Asmaranti menyimpan kerinduannya seorang diri.

"Assalamu'alaikum!"

Kedatangan gadis itu di sambut kicau burung yang hendak pulang ke sarang, meloncat-loncat dari ranting ke ranting sebelum cakrawala berubah menjadi jingga. Lelah selama perjalanan seketika pudar saat melihat senyum Bapak dan Ibu yang menyambut di halaman rumah dengan pagar tanaman tersebut.

Daun-daun kering berjatuhan di pohon asam yang berdiri tegak di ujung halaman seolah mirip konfeti penyambutan Asmaranti kembali ke rumah. Anak bungsu dari tiga bersaudara itu memang tidak seberuntung kedua kakaknya yang pernah merasakan kemewahan saat kecil, namun baginya berada di pelukan keluarga cukup membuatnya bahagia.

Bahkan bila di perlukan Mas Harsya, begitu ia menyebut nama lelaki itu di dalam doanya. Ah, membayangkan saja sudah membuat pipi Asmaranti berubah merona seperti kepiting rebus.

"Anti pulang, Buk!"

Jari Ibu diangkat sedikit ke atas supaya lebih mudah menghampiri Sang putri yang dirindukan tawanya, kerudungnya yang asal-asalan tersamping di kepala hampir melorot saking buru-burunya menerima pelukan Sang putri.

"Ya Allah, Nduk! Ibu kangen."

"Anti juga," Asmaranti memeluk erat ibu, lalu ia merasakan belaian pada puncak kepala ketika telapak tangan Bapak terangkat.

"Tak kira kamu gak mau pulang rumah lagi."

"Maafin aku Pak, Buk." Asmaranti mengambil telapak tangan Bapak untuk salim, lalu ganti punya Ibu.

"Kamu berani pulang sendiri?"

"Beranilah, Mbak Amboro sibuk sama bayinya, mana sempat dia mengantar aku pulang ke rumah?"

"Mbakmu sama Masmu sehat kan?"

"Alhamdulillah sehat," Asmaranti mengangkat tas bermotif bunga yang hampir pudar saking lamanya dipelihara. Semua barang yang ia pakai merupakan lungsuran dari kedua Kakak, hanya dua gaun pemberian Bapak yang betul-betul baru ia miliki. Sisanya peninggalan Amboro dan Rini yang kini sudah berumah tangga.

"Kamu sudah makan belum?"

"Belum, Ibuk masak apa?"

"Gak masak-masak apa, cuma tiwul sama sayur blandir."

Perempuan Dalam PelukanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang