Setelah nyaris seumur hidup menjalani tidur dan pemeriksaan berulang, Kinantan belia untuk pertama kalinya dibawa ke ruang lain. Di sana lah ia dipertemukan dengan Biru Langit, anak lelaki yang berotak kritis dan mengesankan. Biru dan Kinan bertukar pikir mengenai macam-macam hal yang mereka tebak. Suatu kali, Biru membahas perihal langit dan kematian, dua hal asing bagi Kinan, tetapi memecut rasa ingin tahunya tentang apa sebetulnya mereka ini.
.
.
.
.
."Sudah selesai," ucap seorang wanita tanpa emosi yang tampak, seraya ia membuka pintu lemari kecil berasap dingin.
Dari dalam sana keluarlah seorang gadis belia dengan cap kode 252-252-252 di lengan kirinya.
Gadis belia yang malang. Kehidupan inilah yang ia kenal sejak lahir; tidur di dalam tabung cairan, pemeriksaan, tidur kembali. Sesekali, dia bakal punya kesempatan masuk sebuah ruangan kosong bersama satu dua anak lain. Tak melakukan apa-apa, tak berinteraksi apa-apa, sampai akhirnya dipanggil kembali. Cukuplah baginya tahu bahwa ia tidak sendiri.
Sayangku, ia tidak tahu kalau dirinya dalam belenggu sebuah penjara, tak mengenal konsep waktu dan umur, tidak tahu kalau manusia sejatinya punya hak memilih dan hidup bebas.
"Kenari," ujar wanita dewasa yang tadi melakukan pemeriksaan.
Oleh dua pria penjaga, anak perempuan itu dibawa ke sebuah ruangan yang sama sekali lain dan belum pernah ia masuki sebelumnya.
Baginya ini aneh. Selama ini yang dia tahu hanya Cendana-artinya ruang tabung tidur, dan Seroja-artinya ruang kosong tempat tidak melakukan apa-apa.
Ruang Kenari memiliki langit-langit tinggi serta penyekat kaca yang membagi ruangan jadi dua bagian sama luas.
Sang gadis belia ditempatkan di salah satu sisi, sementara di sisi lain sudah ada seorang anak lelaki yang duduk dekat kaca penyekat.
'Duk duk!'
Anak itu mengetuk kaca, tetapi Gadis Belia enggan menghiraukan.
'Duk duk!'
"Apa?" akhirnya gadis itu menjawab.
"Apakah kamu memiliki nama?"
"Ya."
"Namaku Biru Langit. Siapa namamu?"
"Kurasa tidak ada untungnya kita mengetahui nama masing-masing. Sebentar lagi kita akan kembali ke Cendana."
"Aku sudah lama di sini."
Gadis Belia, tanpa dirinya sadari, jadi lebih tertarik dengan mendekat ke arah penyekat. "Berapa lama?"
"Tidak tahu. Mungkin 135 kali lebih lama dari Seroja."
"Apa yang membuatmu yakin persis seratus tiga puluh lima kali lebih lama dari Seroja?"
Biru sendiri nampaknya bingung. "Aku menyukai angka itu, dan juga, yang aku tahu memang cuma angka itu. Pria yang memeriksaku selalu mengatakannya setiap melakukan pemeriksaan."
Pria? Gadis Belia yakin yang memeriksanya selalu wanita. Kadang seorang, kadang lebih dari seorang. Ia menyimpulkan, berarti yang perempuan ditangani perempuan lagi dan yang laki-laki ditangani laki-laki lagi.
Biru melanjutkan, "Yang lainnya, dia berkata dua ratus enam dan dua ratus tiga puluh lima," seraya Biru menunjukkan cap di lengannya. 135-206-235.
"Aneh sekali. Wanita yang memeriksaku tidak menyebut angka dengan cara seperti itu. Dia hanya bilang dua lima dua."
"Kurasa yang begitu lebih mudah diucapkan."
Mereka saling diam lagi untuk beberapa saat sebelum Biru mengulang pertanyaannya. "Siapa namamu?"
"252-252-252, Kinantan."

KAMU SEDANG MEMBACA
Future Scenery (Sebuah Antologi Cerpen)
Short StoryIni tentang Kinantan dan Biru Langit belia, yang hidup terisolasi dengan pengetahuan yang amat terbatas, tetapi berusaha memahami siapa mereka sebenarnya. Ini juga tentang Naia, pengelana tunggal di dunia pasca-apokaliptik, yang kemudian bertemu den...