1✮

53 7 0
                                    

Lampu lentera jalan yang temaram diiringi dengan embun menetes dari dahan mengalir, menghantarkan sejuknya hawa pada bangunan tua nan rapuh dengan anyaman bambu sebagai penyokong angin malam dan menjadi penghantar hangat untuk melindungi satu keluarga kecil tanpa sosok kepala rumah tangga di dalamnya.

Jika sosok aku terlahir kembali, tidak ada salahnya bukan? jika aku berharap esok menjadi sosok yang sangat beruntung dalam hidupku, mendapatkan seluruh keadilan dan hak ku sebagai manusia, tidak serba kekurangan, dan merasakan hangat nya keluarga yang utuh.

Suara lembar buku dengan goresan tinta hitam yang beradu lalu terhenti menandakan itu penggalan terakhir dari kalimat yang sosok aku tulis, seakan menjadi penutup malam penuh bintang bagi sosok aku. Ternyata malam belum usai, derit pintu terdengar, bayangan dari bawah pintu tergambar, malam yang sepi menjadi mencekam apalagi dengan keadaan desa selepas rintik hujan.

Seorang wanita paruh baya membuka pintu berbalut anyaman bambu, membawakan sepiring singkong rebus hasil panen nya sore tadi.

"Tarendra, masih berkutat dengan tugas sekolah kau itu?" tanya Ibu.

Tarendra dengan degup jantung yang kencang menutup buku harian nya segera berbalik berdiri menghadap Ibu nya, terasa hening untuk sesaat, Tarendra menggaruk kepala belakang nya yang bahkan tidak gatal sama sekali. Hingga akhirnya Tarendra memecah keheningan.

"Sudah selesai Ibu. Saya hanya menulis buku harian saya." jawab Tarendra

Ibu berkata, "Syukurlah sudah selesai mengerjakan kewajiban sekolah, anak pintar."

"Ibu bawakan singkong rebus untuk mengganjal perut kau nak. Ibu dan adik sudah makan, jadi habiskan ya, tidak boleh membuang-buang makanan." tambah Ibu. Dengan senyuman terukir diwajahnya sembari memupuk helai rambut halus Tarendra, sang anak sulungnya.

"Baik Ibu terima kasih. Selamat malam." ungkap Tarendra. Dengan binar matanya menatap Ibu yang menginjakan kaki keluar dari kamarnya.

Tarendra menatap sepiring singkong rebus, dikatakan bosan memanglah bosan, hanya rasa syukur yang menjadikan dirinya kokoh untuk bertahan memperjuangkan hidupnya. Memang singkong sudah menjadi makanan nya sehari-hari jika tidak ada lauk pauk yang dapat dibeli untuk mengisi perut keluarga kecil ini.

"Malati, cepatlah ciptakan kesan yang baik sebagai peserta didik!" seru Tarendra.

Bagi Tarendra, aturan adalah aturan, tidak dapat diganggu gugat. Lahir dalam keluarga yang kurang mampu bukan berarti kurang mampu juga dalam menaati aturan, tergantung pada pribadi masing-masing. Telat masuk sekolah misalnya, peraturan itu jelas ada, dan sebagai bentuk menghormati guru yang akan mengajar, tidak etis jika guru yang menunggu.

Sepatu yang sesak menjadi penghalang mereka berdua pagi ini untuk berangkat sekolah tepat waktu, dengan alis yang mengerut ia terus berusaha. Tarendra yang melihat hal itu cukup tertegun hati nya, timbul rasa ingin membelikan apapun yang Malati butuhkan. Hingga akhirnya Malati dapat memakai sepatu kekecilan nya.

Menjadi sosok kakak tidak begitu sulit apabila sosok seorang ayah masih ada. Namun, yang Tarendra rasakan adalah menjadi sosok kakak serta ayah untuk adiknya, Malati. Sebagai kakak ia berusaha untuk menjadi contoh yang baik, penghibur dikala adiknya mengalami hari buruk, membantu adiknya dalam bidang akademik. Sebagai pengganti mendiang ayah, ia harus mengayomi, memberi contoh, menuntun, memberikan kehangatan peran ayah agar adiknya tidak merasa sepi karena peran kedua orangtua dalam tumbuh kembang anak sangat penting, serta mendukung biaya pendidikan sang adik nantinya.

"Ayo kak, maaf saya lama bersiap nya." ungkap Malati. Dengan peluh keringat di dahi nya sembari naik ke bangku belakang sepeda onthel peninggalan mendiang ayah.

KILAU YANG TERKEKANGWhere stories live. Discover now