Ayara Zahira, gadis 22 tahun yang kerap disapa Aya ini berkuliah di salah satu Universitas swasta terkenal, Aya mengambil jurusan Pendidikan yang termasuk ke dalam Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Lantas apakah masuk FKIP adalah keinginan Aya? Tentu bukan. Ia sudah ditolak beberapa universitas negeri dan opsi terakhirnya adalah Universitas swasta yang sekarang menjadi tempatnya berkuliah, Aya iseng mengambil jurusan Pendidikan dan sialnya ia malah diterima."Kamu tuh sebenernya minatnya dimana sih Yara?" Tanya om Ayara—Adik dari ibunya sewaktu menemukan keponakanya ini kelimpungan mendaftar kuliah. Ayara bungkam, ia sendiri tidak tahu minatnya di bidang apa. Awalnya ia ingin mengambil jurusan Ilmu Komunikasi namun melihat UKT nya tidak sedikit ia urungkan dan mengambil pendidikan.
Ayara sebenarnya memiliki dendam sendiri terhadap Omnya yang satu itu, ia hanya tahu mengomel tanpa tahu betapa sulitnya menembus PTN di Indonesia.
"Gpp Kak, sekolah disitu aja." Bela ayahnya ketika menemukan anaknya tengah bersedih di kamarnya saat malam tiba. "Udah keterima 'kan?" Tanya ayahnya.
"Udah Yah."
"Syukur deh kalo gitu. Tidur gih udah mau jam dua belas." Pesan sang ayah sebelum keluar dari kamar putrinya.
Begitulah singkatnya kisah Ayara saat hendak memasuki dunia perkuliahan.
****
A
Besok kamu free Ayara?
Saya cuma ada kelas pagi
Rencananya mau ngajak kamu keluar untuk bahas soal kita kedepanya
Sekaligus memastikan apa kamu bener-bener serius mau jadi istri saya
Ayara terkejut kala mendapati suara nyaring notifikasi yang berasal dari iPhonenya yang ia letakkan di atas meja. Karena malas bergerak, Ayara lantas membuka wa lewat laptop yang tengah ia pangku.
Inisial A sendiri adalah Anan, Ayara sengaja tidak menambahkan nama panjang Anan karena takut sewaktu-waktu ada yang meminjam hpnya ia ketahuan memiliki hubungan serius dengan dosen di kampusnya.
Ayara termenung membaca pesan dari Anan.
Iya ya gue serius gak sih sama Anan?
Kok kesanya kaya main-main gini ya, pikir Aya.
Anda
Bisa diundur gak Pak?
Saya sendiri juga masih bimbang, besok saya mau pulang dulu
Mau ketemu Bunda, dan nyeritain keluh kesah saya tentang hal ini
Anan membaca balasan dari Aya dengan ekspresi datar namun tersirat akan sebuah keseriusan. Anan dan Aya sendiri bisa kenal karena sebuah ketidaksengajaan, waktu itu Anan tengah ikut dengan ibunya berbelanja bulanan di salah satu store, dan tidak sengaja bertemu dengan ibu sambung Ayara, yakni Sari yang kala itu tengah berbelanja bulanan untuk keperluan kos Ayara.
Alhasil, keduanya yang merupakan sahabat karib menyempatkan untuk berbincang-bincang, Anan yang kala itu menghindar memberikan space untuk ibunya dan sahabatnya berbicara tidak tahu kalau keduanya sepakat menjodohkan dirinya dengan Ayara.
Dan pada akhirnya ada satu alasan yang membuat hati Anan tergerak untuk menerima perjodohan tersebut.
A
Mau saya antar?
Anda
Gausah Pak, makasih
A
Panggil aja Anan, kesanya terlalu formal kalau Pak
Panggil saya begitu kalau lagi ada di area kampus saja Ayara
Anda
Saya panggil Kak aja kalo gitu
A
Terserah kamu Ayara
Segera kabarin saya kalau keputusan kamu sudah bulat
Soalnya ini menyangkut kita kedepanya mau seperti apa
Saya tunggu kamu
Anda
Iya kak
Anan mengunci layar hpnya, lantas menyandarkan bahunya ke sofa yang ada di ruang tamu rumahnya. Selama beberapa detik ia memandangi langit-langit rumahnya lantas berjalan menuju dapur tempat dimana ibunya tengah memasak.
"Loh Mas kok udah turun, biasanya nunggu Bunda panggil dulu." Tegur ibunya melihat Anan sudah duduk manis di meja makan.
"Lagi senggang aja Bun, kerjaanya gak terlalu numpuk." Jawab Anan. "Bunda, Mas mau nanya nanti jawab yang jujur ya?"
Bunda terkekeh. "Iya. Tanya apa sok Bunda jawab."
"Menurut Bunda, Mas udah siap belum buat nikah? Menurut Bunda, Mas juga udah siap belum jadi suami?"
Bunda tidak langsung menjawab.
"Mas sendiri gimana? Apa menurut Mas, Mas udah siap untuk mengambil, memilih dan mengemban tanggung jawab yang lebih besar? Kalau menurut Bunda, Mas udah siap untuk menikah, kamu udah kerja, udah bimbing adik-adik kamu juga. Menurut Bunda, Mas juga sudah berhasil menggantikan sosok ayah sebagai kepala keluarga dan panutan buat adik-adik Mas." Jawab bunda panjang lebar. "Emang Mas udah punya calon?" Sindir bunda, pasalnya ia tidak pernah melihat Anan pergi ataupun memperkenalkan seorang gadis.
"Dari cerita yang Bunda ceritain ke aku tentang Ayara, menurut Bunda, aku bisa gak membimbing dia?" Bunda yang kala itu sedang menggoreng lauk, langsung mematikan kompor dan menatap anak sulungnya lamat.
"Kamu mau nikah sama Ayara?" Tanya bunda serius. "Kapan Mas? Kok gak bilang? Tante Sari udah tahu? Kok gak bilang-bilang sama Bunda?"
Anan terkekeh mendengar rentetan pertanyaan dari ibunya. "Rencananya sih begitu Bunda, Mas udah ngomong empat mata juga sama Ayara, terus jawaban dia kayak ngasih Mas kesempatan tapi ya gitu mungkin dia masih bimbang juga, Ayara 'kan masih kuliah, belum selesai S1 juga mungkin masih banyak yang harus dia pikir."
"Ih padahal udah langsung di gas aja kalo kata Bunda mah." Timbal bunda. "Tapi ya namanya nikah gak bisa main-main harus matang dari segi apapun itu. Yaudah yang terbaik buat kalian aja ya, Bunda tuh seneng kalo lihat Ayara, orangnya sumeh, manis, dan nyambung kalo diajakin ngobrol."
"Tapi nanti kalau Mas nikah, adek-adek gimana ya Bun?" Anan melayangkan pertanyaan yang sangat ia pikirkan sejak tadi.
"Ya gak gimana-gimana, 'kan masih ada Bunda. Udah kamu fokus sama diri kamu aja Mas, gausah terlalu dipikir masalah adik-adik, mereka juga udah pada gede udah mau kuliah. Bunda masih sanggup biayain mereka."
Ibu Anan adalah seorang dokter spesialis anak dan mendiang ayahnya dulu adalah lulusan magister hukum, lalu Anan sendiri adalah seorang dosen di FKIP, terlalu jauh memang kalau dipikir, namun bunda tetap menghormati keputusan yang Anan ambil, toh anak sulungnya ini sudah membuktikan kalau ia sungguh-sungguh dalam menjalankan profesinya.
"Doain semoga semuanya lancar ya Bunda."
"Pasti."
-to be continued