1

11 1 0
                                    

Tangan Stella meraba nakas disamping tempat tidurnya dengan cepat. Tengah malam ini, hujan berpetir seperti ini, ponselnya seolah berteriak keras membangunkannya karena ada telepon masuk. Setelah ditemukannya dan lampu tidur menyala, Stella melirik jam.

               

Jam 02.00. Siapa sih nelpon gue jam segini?

 

                Tanpa babibu lagi dia menekan tombol answer pada ponselnya, "Ya, halo?"

                Terdengar sesuatu diujung sana, mendadak ada sesuatu yang berubah di diri Stella. Ada perasaan shock, tampak dari matanya. Ranjang berkeriut, saat Stella merubah posisinya menjadi duduk.

                "Kapan? Stella harus kesana sekarang?" ucapnya hampir berbarengan dengan bulir bening yang hendak jatuh dari matanya.

                "Ya udah." Stella memutuskan sambungan. Berbalik. Meringkuk. Dan menangis.

               

               

                Papa Stella meninggal..

 

***

                Paginya Stella bangun, menatap dirinya sendiri di cermin.

               

                Ancur banget sih, gue.

                Di dunia ini, tidak ada yang lebih tidak bisa dibayangkannya selain papanya meninggal. Papanya. Papa yang paling dia sayang. Papa yang hanya dia miliki. Papa yang selalu adadalam 17 tahun hidupnya.

                Tenang aja, gue masih punya Badai.

                Bertepatan dengan pikiran itu, pintu kamarnya diketuk. Tanpa pikir panjang lagi, Stella membuka pintu kamar dan memeluk makhluk dibalik pintu itu.

                Badai.

                "Stell, papa.."

                "Aku tau, kakak bisa diem sekarang. Aku cuma pengen peluk kakak, aku cuma pengen nenangin diri. Aku cuma pengen ngelatih sekuat apa sih Stella ditinggal papa? Palingan Stella kuat banget. Nggak ada papa gue bisa main PS sendiri, nggak ada lo, gue bisa chat-an sama temen-temen gue. Nyadar gak sih, Dai, kalo hidup aku tuh banyak pelariannya,"─Air mata Stella mulai berjatuhan di pundak Badai. Membasahi jaket Badai yang masih beraroma mobil. Jelas sekali semalaman dia melarikan diri dengan mobilnya itu. Sama seperti Stella, dia tahu apa yang terjadi pada papanya, semalam. Dan itu lebih menyakitkan karena dia yang menunggui papanya, dirumah sakit. Dan jika Badai bialng itu menyakitkan, maka itu sangat.

                Badai nggak tau apa yang harus dilakukannya tapi Badai mempererat pelukannya pada Stella. Lo masih adik kecil gue, Stell. Lo bisa nangis. Bebas.

                Kenyataannya Stella terlalu angkuh. Bahkan untuk ukuran kepada kakaknya sendiri. Stella melepas pelukannya dan menghapus air matanya, sendiri. Badai tersenyum kaku. Miris melihat adiknya seperti itu. Rapuh, tapi selalu menahan diri.

                "Look at me, we can get through this, together." Badai memandang adiknya. Menarik dagu adiknya agar melihat tepat pada manik hitam miliknya.

SerendipityWhere stories live. Discover now