PROLOG

1 0 0
                                    

Altair Yuda Galaksi Bima Sakti nama yang disematkan oleh orang tuanya sekitar belasan tahun yang lalu ketika laki-laki itu lahir saat fajar menjelang. Astronomi sekali, bukan? Yup, maklum kedua orang tuanya penggemar berat Neil Armstrong. Bayangkan saja, ketika laki-laki itu masih di dalam perut—ibundanya tidak pernah absen menonton yang berhubungan dengan astronomi.

Bagaimana dengan laki-laki itu? Tidak, laki-laki itu tidak ada minat perihal astronomi. Persetan dengan apa yang terjadi di belahan semesta lain, buminya saja sudah cukup membingungkan dan memporak-porandakan. Bahkan laki-laki itu kerap kali meminta agar namanya diganti. Katanya, nama itu terlalu berlebihan, ribet, terlalu panjang, dan ia tidak suka.

Namun ketidaksukaan itu berubah ketika ia bertemu dengan perempuan yang sama ribetnya. Perempuan yang tidak sengaja duduk dan mengajaknya berbincang pada sore itu saat matahari tenggelam.

Begini ceritanya...

Sore itu sepulang dari tempat les, laki-laki itu berjalan menyusuri tepi pantai. Ia masih mengenakan pakaian sekolah; baju putih, celana abu-abu serta converse hitam. Laki-laki itu tampak bingung, terlihat dari raut wajahnya yang kusut.

Laki-laki itu masih menyusuri pantai sebelum kemudian ia duduk dan memandangi matahari yang sebentar lagi akan terbenam. Sudah setengah jam ia duduk namun belum ada pergerakan, laki-laki itu belum melakukan apa pun selain diam dan termenung dengan tatapan yang kosong.

Di tempat yang sama dari arah kiri tepi pantai, perempuan itu berjalan tanpa tujuan. Perempuan itu sama halnya dengan laki-laki yang tadi, masih mengenakan seragam sekolah dan sama bingungnya dengan sorot mata yang kosong.

Sampai akhirnya langkah kaki perempuan itu terhenti, tepat di samping laki-laki yang sedang diam termenung. Perempuan itu ikut duduk.

"Galau, kak?" Perempuan itu bertanya, membuyarkan si laki-laki yang sedang termenung.

Laki-laki itu reflek menoleh, sepertinya ia baru sadar dengan kehadiran si perempuan. "Eh?"

"Indah, ya, sunsetnya." Perempuan itu kembali berujar sambil memandangi matahari yang setengahnya sudah ditelan awan.

Si laki-laki membuang tatapannya kembali ke arah semburat oranye di sudut barat. Warna jingga sang mentari memancarkan sinarnya. "Biasa aja."

Jawaban laki-laki itu membuat si perempuan diam sebentar, mencari kata yang pas untuk memulai obrolan. Ia berasumsi kalau laki-laki di sampingnya bukan jenis laki-laki yang welcome terhadap orang baru. "Tell me what you feel, and i'll tell you too."

Hening sejenak, mereka saling tatap.

"Hala Aurora Nebula," ucap si perempuan.

Laki-laki itu bertanya, masih dengan tatapan yang masa bodoh. "Apaan?"

"Nama gue."

Si laki-laki hanya mengangguk kemudian membuang tatapannya kembali.

"Lo?" tanya perempuan itu.

"Apa?"

"Nama lo siapa?"

"Yuda," jawabnya singkat.

"Nama panjangnya?"

"Yudaaaaa A nya sepuluh."

Si perempuan tertawa membuat si laki-laki yang di sampingnya terkekeh. "Stand up comedy, lo?"

Laki-laki itu menoleh. "Lagian nanya, kok, nama panjang."

"Oke, ralat. Nama lengkapnya?"

Laki-laki itu tidak langsung menjawab, ia diam sebentar. Perempuan itu juga sama, menunggu yang akan dikatakan oleh laki-laki itu. Perempuan itu menatap Yuda dengan lekat, menaruh seluruh atensinya di sana, mencoba menyelam pada sorot mata laki-laki itu.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 19, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

The Story Of Galaksi & NebulaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang