Aku mengenal sebuah pertemanan sebagai sesuatu yang penting untuk diingat ketika merasa kesepian. Mereka mengenal pertemanan sebagai hubungan erat antar manusia untuk saling membantu, mendukung, mengasihi, dan bahagia bersama. Namun bagaimana jika pertemanan—persahabatan, yang bahkan aku anggap begitu penting nyatanya tidak kalah lebih penting dari menjalani segala hal sendirian?
Siang itu aku menyesap kopi hangat yang harusnya malah lama untuk berubah dingin. Tapi udara Jakarta yang tidak menentu buat kopi hangat itu dalam 1 menit sudah berubah menjadi dingin akibat gelas kacanya memancarkan udara dingin dari kelembaban udara dan sayup udara dingin masuk ke dalam kafe siang ini.
Aku memandang kumpulan orang yang bercengkrama dengan akrab. Ah, kumpulan gadis-gadis yang berbicara riang, tampaknya mengobrolkan cowok kesukaan salah satu temannya karena aku bisa melihat godaan dari gadis-gadis lain kepada si pusat obrolan siang itu di kafe.
Terlintas ingatan tipis mengenai kenangan yang sama. Ruangan dari restoran cepat saji terkenal akan burger dan es krimnya menjadi pelengkap dari obrolan kami mengenai salah satu cowok, kakak kelas senior, yang resmi menjadi pacar dari temanku itu. Rasanya seru. Masa SMA yang bahkan jika dikenang pun, aku tidak pernah menyesal pernah menjadi bagian dari dunia penuh permainan itu.
Aku menyesap lagi kopi yang sudah sedingin es kopi biasa, membaca lembaran kertas pertama sebelum berdiri untuk menyambut editorku. Ini adalah buku ketiga yang akan terbit diusiaku yang hampir menginjak 28 tahun. Sangat konyol, di saat wanita seumurku sibuk menyiapkan sekolah anak, aku sibuk merilis novel fiksi untuk para remaja kesepian—seperti aku dulu, kayaknya.
Namun bukan itu masalahnya. Bukan pada buku ketigaku yang berfokus pada hubungan wanita dengan 3 laki-laki di hidupnya. Ini tentang kehidupanku sendiri, di masa lalu yang nyaris aku lupakan.
Masa SMA, 5 orang gadis yang aku kenal sebagai temanku—sahabatku—sebelum semuanya resmi bubar. Tidak ada lagi perasaan yang sama seperti saat aku pertama kali mengenal mereka dan berharap kami akan menjadi sahabat selamanya.
Bukan aku yang dibuang. Tapi aku yang membuang mereka, karena pada dasarnya barang yang sudah tidak berguna harus dibuang ke tempat sampah bukan?
Kelima gadis itu sudah aku buang ke tempat sampah. Tidak pernah lagi aku membukanya, walaupun di umurku yang baru 25 tahun sempat memimpikan masa yang bisa dibentuk lagi bersama kelima gadis itu. Tapi di akhir 2024, aku benar-benar membuang mereka.
Jauh sebelum mereka sadar bahwa aku sudah membuang kelimanya dari hidupku.
a.n
Aku memutuskan membagikan cerita ini lebih dulu dibandingkan band kampus. Larahati di Jakarta sepertinya masih harus menunggu untuk lanjut ditulis karena ya, aku mau nulis cerita ini wkwkwk XD
KAMU SEDANG MEMBACA
Dari Kaca Lensa
Teen FictionKita belajar, bahwa hubungan tidak pernah ada yang selalu sama. Ketika tau bahwa sesuatu itu tidak lagi seirama, pergi adalah cara perpisahan paling terbaik. *** Fanya memiliki 5 orang teman sejak kelas 10 SMA. Mereka selalu terlihat akrab, bersama...