Pernah dengar kata-kata bahwa warna abu-abu bisa masuk ke dalam kelas warna putih? Mungkin itu yang bisa aku gambarkan tentang teman-temanku. Mereka terlihat putih, bersih, dan tentunya menerawang. Tapi di lain sisi, ada kalanya mereka pudar diikuti warna abu-abu yang lebih butek dibandingkan putih yang jernih. Aku tidak tahu kapan itu dimulai, tapi aku yakin bahwa sejak awal duniaku selalu berada di luar pusat rotasi mereka. Ibarat lintasan tata surya, aku menjadi Pluto yang sengaja dihapus dari susunan planet meskipun pada dasarnya aku masih tetap ada laksamana planet lainnya.
Hanya saja, dunia tidak lagi menganggap pluto sebagai planet saja.
Menjadi bagian dari bintang juga tidak buruk, kan? Namun itu berarti bahwa aku bukan lagi masuk dalam bagian lintasan itu. Grup itu. Persahabatan itu.
“Kenapa ketawa? Ada yang lucu, ya?”
Siang itu kami berkumpul di halaman depan kelas 11 IPA 2 dengan lantai super kotor. Sudah pasti, sih. Ini masuk di jam istirahat kedua dan lantai sudah ratusan kali diinjak bolak-balik oleh siswa sekolahku dengan alas sepatu mereka yang kotor. Baik itu debu, kotoran dari tanah merah yang setengah basah akibat hujan semalam, membuat lantai menjadi babak belur.
Namun aku dan kelima sahabatku duduk melingkar bersama makan siang kami yang dibeli di kantin tanpa takut kotor. Karena pakai rok cokelat dari seragam pramuka, rasanya bekas debu atau tanah merah yang menempel pun tidak merisaukan warna cokelat dari rok kami. Tapi ibu kami tentu saja siap dengan omelannya yang memekakan telinga.
“Oh, Nya,” Orin melirikku, mengatupkan bibir sambil melirik ke arah Nagita sebelum menggeleng. “Nggak ada, sih. OSIS udah kelar rapat?” sekarang sepertinya mereka lebih penasaran kepada kegiatan OSIS-ku daripada obrolan lucu tadi.
Aku meringis. “Tadi cuman bahas soal hasil danusan dikit, terus schedule rapat utama selanjutnya. Sore ini harusnya ekskul malah rapat.”
“Itu lebih baik daripada gak ada kegiatan, Nya,” sahut Mey, yang tersenyum kepadaku. “Udah makan?”
“Nggak laper, sih.”
“Ini gue masih ada roti bakar, rasa blueberry. Lo kan suka.”
Sambil menerima potongan terakhir roti bakar itu, obrolan lain tercipta di lingkaran tersebut. Aku, seperti biasanya, mendengarkan dengan seksama tanpa mau kehilangan topik. Semenjak sibuk OSIS dan punya kegiatan ekskul mading, rasanya untuk bercengkrama dengan kelima sahabatku sulit sekali.
Kelas 11 dan kami yang harus berpisah ke dalam 3 bagian kelas IPA membuat kumpulan itu serasa kosong beberapa kali. Jarang sekali lengkap seperti siang ini adalah keajaiban.
“BTW, tadi pacar lo ke ruang guru, tuh. Nggak ketemu?”
Mendengar kata pacar yang rasanya tidak lengkap kalau tidak membicarakan Arfan, aku jadi terkekeh. “Berisik, anjir!”
“IIHHH, FANYA MALUU!”
“Duhh, nanti dia denger!”
Nggak, Arfan bukan pacarku. Belum, tepatnya. Kami masih dalam tahap pedekate yang rasanya sudah seabad kami lakukan, meskipun sejatinya pedekate ini baru tercipta dalam 2 bulan selama kita kenal sebagai teman sekelas di semester lalu waktu masih kelas 10. Aku tidak mau terbawa suasana bahwa katanya Arfan menyukaiku saat itu dan kami sekelas kembali, dan ya, kalian bisa menebak arah selanjutnya kemana.
“Enaknya~” dengan agak malas, atau aku yang salah dengar? Orin berdiri sambil menepuk-tepuk area bokongnya. Menyisakan noda sedikit tapi tidak begitu kentara. Aku yakin, rokku juga sama. “Gue mau balik ke kelas, deh,” wajah gadis itu terlihat kusut, mata bulatnya lebih tajam dari biasanya.
Aku mengerutkan dahi. “Yahh, masih sisa 10 menit lagi padahal.”
“Udah males,” balas gadis itu lantas meninggalkan kami, sebelum disusul oleh Nagita.
Aku juga ikut bangun dan Mey merangkul bahuku. “Yuk, ke kelas juga!” kata gadis itu, berpamitan dengan Aira serta Fanny yang melambai di depan kelasnya sendiri sebagai tempat kami berkumpul siang ini.
Sambil meregangkan lenganku yang rasanya pegal banget, aku melirik Mey. “Orin lagi badmood, ya?”
“Hari pertama dia, Nya.”
Aku mengangguk saja. Gadis itu memang sejak dulu mudah sekali marah dan marahnya selalu tanpa alasan. Semua orang bisa dia diamkan selama beberapa menit, jam, bahkan hari. Tapi setelahnya Orin bisa kelihatan seperti gadis dari planet lain, mudah senyum dan tertawa.
***
Orang bilang menjadi dewasa akan menunjukan kepada kita bahwa pertemanan bisa menjadi omong kosong. Dulu, aku meragukannya. Namun saat ini, aku pikir memang omong kosong. Kenapa mereka bisa menciptakan pertemanan yang selalu seirama dan baik-baik saja? Kenapa hanya aku yang keluar dan memebebaskan diri seakan pertemanan yang terbentuk itu merupakan musibah seperti kiamat besar?
Aku mengeluh sambil menyandarkan bahuku pada bantal leher di mobil Arfan. Laki-laki itu datang menjemput ke kafe tempat pertemuanku dengan editor. Saat ini, kami ingin bertandang ke salah satu restoran untuk bertemu dengan tim WO buat acara pernikahan sebulan lagi.
Harusnya ini masuk ke masa pingitan, tapi aku bersikeras mulainya besok saja. Rasanya sulit sekali jika harus berpisah dari laki-laki bermata cekung di sampingku ini meskipun cuman 1 bulan saja. Toh, setelahnya aku akan melihat wajah ini setiap hari di rumah kami yang sudah selesai dibangun 3 bulan lalu.
“Habis ini enaknya ngapain, ya?” aku mencoba meledek laki-laki itu, yang kini mengulas senyum sambil mengarahkan satu tangannya yang bebas untuk mengacak poniku.
“Jangan mulai, deh. Kita harus benar-benar pulang. Mulangin kamu ke rumah mertuaku dulu maksudnya.”
Aku tertawa. “Ehem, makin lancar itu manggil mertua.”
“Kamu latihan juga, dong! Coba panggil aku Mas Arfan.”
“Idih! Lebih tua 3 bulan aja belagu,” sungutku dan dia tertawa geli. Hubungan kami nggak bisa dibilang mulus, bahkan sejatinya kami sempat putus kontak selama kurang lebih 2 tahun sehabis SMA. Aku yang melarikan diri dan rasanya tidak menyangka bahwa laki-laki ini bahkan mau menungguku dalam 2 tahun, merajut lagi hubungan kami seakan dari awal tidak pernah ada kata putus, dan itu artinya aku telah meninggalkan sahabatku lambat laun hingga 2024 lalu. Itu sudah 3 tahun yang lalu ternyata.
Ini bukan soal memilih antara laki-laki dan sahabat. Masalah itu, masih ada banyak lagi hal kompleks yang rasanya aku malas untuk membahasnya lagi.
Pertandingan basket di classmeeting menjadi puncak utama acara siang itu, ketika aku memasuki area penonton bersama Mey serta Aira di pinggir lapangan yang sudah penuh. Tapi sudah ada Orin, Nagita, serta Fanny yang asik menyeru kepada pertandingan antara kelas 11 IPA 1 dengan IPA 3.
“Wooooh, Arfannn!” seruan Orin yang nyaring membuatku langsung melihat kepada cowok itu. Asik mendribble bola oranye dengan lugas, membawanya kepada Reno, sebelum laki-laki berkepala kotak dengan rambut jabrik itu melempar bolanya ringan untuk masuk ke ring IPA 3. Kawanan siswa yang menonton bersorak girang meskipun tidak tahu apakah semuanya mendukung kelasku atau hanya jadi tim hore bagi kedua kelas tersebut.
Aku berdiri di samping Fanny yang akhirnya sadar akan kedatangan kami.
“Eh, daritadi, Nya?”
“Baru, kok.”
Nagita melihatku, mata satunya berkedip. “Cowok lo keren.”
Aku tertawa. “Kata Arfan, makasih Ibu Nagita,” laki-laki itu memang memanggil Nagita Ibu karena gadis itu merupakan pacar dari seniornya di basket yang menjabat sebagai ketua hingga dua bulan lalu.
Orin kembali menyalak girang. “Wihh, ayo Arfannn!”
Fanny menyenggol bahu gadis itu. “Coi, kelas lo mau kalah anjir!” katanya dengan tawa geli.
Aku ikut tertawa sambil melihat ke arah laki-laki berambut cepak yang berlari ringan membawa kembali bola oranye ke arah ring lawan. Tapi kali ini, lengannya yang panjang langsung saja mendorong bola itu dari jarak cukup jauh tapi mampu memasukan bola ke dalam ring.
Skor kini sudah mendekati kemenangan. Aku tersenyum. “KERENNN!” tapi setelah itu wajahku panas seolah habis direbus begitu laki-laki itu menyadari suaraku, lantas melemparkan pelukan jauh yang tidak terasa jauh.
Habis ini aku ingin berguling di atas kasur UKS sajalah!
“Idih, pasangan baru,” ejek Aira seraya menggodaku yang semakin semerah tomat. Aku yakin, ini juga disebabkan oleh teriknya matahari menyapu lapangan terbuka dari sekolahku.
Mey tertawa. “Parah, parah. Kita berasa nyamuk banget.”
“Dunia terasa milik berdua,” tambah Fanny dan Nagita tergelak makin geli, sebelum matanya melirik ke arah Orin yang mengulum bibir.
“Baru pacaran doang udah kayak pasutri,” ucapan pedas Orin mengusikku. Ini sudah kesekian dari badmood Orin yang membuatku bingung. “Minuman titipan gue mana?” gadis itu menatap ke arah Mey yang langsung mengeluarkan sebotol air mineral dingin pesanan Orin.
“Film buat nanti sore udah dipesen, Git?” Orin kali ini bertanya kepada Nagita yang asik bertukar pesan dengan Kak Vano.
Nagita mendongak. “Hah? Eh, belum dong!”
“Film? Kalian jadi nonton filmnya? Kan gue nggak bisa hari ini,” aku cemberut sambil membayangkan suasana rapat untuk classmeeting terakhir besok.
“Cuman lo doang yang nggak bisa, kan? Masa semuanya selalu nurutin jadwal lo mulu, Nya,” ucap gadis bermata bulat itu seakan aku adalah makhluk lain.
Fanny tertawa canggung. “Yah, Nya. Lo bisa nonton juga nanti sama Arfan.”
“Duh, gue nggak mau maksain dia nonton film yang nggak disukain.”
“Cowok mah kalo ceweknya demen, pasti bakal usaha buat demen juga, anjir!” tambah Aira seakan dia sudah menguasai kamus bahasa seluruh cowok di dunia. Meskipun aku tahu bahwa Arfan akan begitu, tetap saja rasanya tidak nyaman.
“Nggak, deh. Mending nonton yang lain aja.”
“Nonton apa, sih?”
Kami tidak sadar bahwa pertandingan sudah berakhir bahkan sebelum aku menyadari laki-laki itu telah berdiri di belakangku. Tangannya yang bebas dari memegang handuk, merebut mimuman es tehku yang bahkan kurang dari separuh itu.
“Kamu mau nonton film itu, Nya? Sabtu aja juga aku bisa, kok.”
“Tuh, bisa,” sungut Orin seakan memanasi.
Aku tersenyum tipis. “Nggak usah, deh. Yang lain aja, atau aku bisa nonton sendiri.”
“Punya pacar kok dianggurin sih lu?” ledek Dani dari belakang sambil menoyor kepalaku hingga rasanya aku tidak segan untuk menendang tungkai kaki laki-laki tinggi itu jika jaraknya tidak jauh. Soalnya dia sudah berjalan menjauh dan kakiku itu pendek.
“Sakit, jir!”
Arfan tertawa geli tapi tangannya mudah sekali menoyor balik kepala sahabatnya itu. Matanya melirikku. “Udah, Sabtu aku jemput jam 1 siang. Deal?”
“Ke Gramedia?”
“Nonton.”
Kemudian kami berpisah dan aku kembali mengobrol dengan kelima sahabatku yang sekarang menjadikan film yang harusnya ditonton bersama itu jadi topik utama obrolan.
“Mending pilih yang jam setengah 7 nggak, sih? Bisa makan dulu sama solat, terus abis nonton langsung pulang dah,” usul Fanny sambil memperhatikan Nagita yang bertugas sebagai tukang tiket—alias memesan film melalui aplikasi pemesanan di ponselnya.
“Boleh, boleh.”
“Kita sharing popcorn juga nggak, sih?”
“Karena nggak ada Fanya, mending asin semua aja. Kan Fanya doang yang sukanya cuman popcorn manis!” Orin mengusulkan dan sahabatku yang lain mengangguk-angguk saja. Kami semua sudah belajar untuk selalu menuruti usul Orin karena gadis itu mudah sekali jengkel.
Aku memperhatikan kelimanya yang asik dengan persiapan nonton mereka. Tanpa menyadari, lambat laun aku telah tertinggal tanpa ada lagi obrolan yang masuk ke dalam benakku.a.n
Iyaaaa akhirnya aku bisa menyelamatkan naskah inii hehe! Terima kasih untuk kalian yang sudah tertarik dengan novel baruku dan semoga cerita ini bisa ditamatkan segera!
![](https://img.wattpad.com/cover/329702812-288-k687636.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Dari Kaca Lensa
Teen FictionKita belajar, bahwa hubungan tidak pernah ada yang selalu sama. Ketika tau bahwa sesuatu itu tidak lagi seirama, pergi adalah cara perpisahan paling terbaik. *** Fanya memiliki 5 orang teman sejak kelas 10 SMA. Mereka selalu terlihat akrab, bersama...