"Mbok, sini sebentar." Sesil melambaikan tangan pada Mbok Ningsih dari koridor ruang tamu.
"Ada apa, Non?" Bu Ningsih menghampiri Sesil.
"Ada yang ingin gue bicarakan. Rencana kita berubah," bisik Sesil perlahan. Ia takut Lara mendengar rencananya.
"Kurung Lara di kamar gue dulu, Mbok. Gue takut ntar dia kabur," bisik Sesil lagi. Bu Ningsih mengangguk. Apa yang Sesil ucapkan masuk akal. Kalau Lara kabur, rencana mereka sudah pasti gagal total.
"Kamu ikut Ibu dulu sebentar ke kamar Non Sesil." Bu Ningsih menghela lengan Lara.
"Ngapain Lara di kamar Non Sesil, Bu? Nanti kalau ada barang yang hilang, Non Sesil akan menuduh Lara lagi." Lara menahan langkahnya. Ia trauma selalu dituduh pencuri oleh Sesil saat mereka remaja.
"Sudah, jalan saja. Jangan banyak protes!" Bu Ningsih mencengkram pergelangan tangan Lara. Menariknya paksa ke kamar Sesil. Setelah Lara masuk, Bu Ningsih secepat kilat mengunci pintunya dari luar. Lala terperanjat. Mengapa ia dikunci.
"Lho, Bu. Kok Lara dikunci sih?" Lara memutar-mutar pegangan pintu. Ia panik karena dikunci seperti tawanan begini.
"Tunggu saja sebentar di situ. Ibu bicara dengan Non Sesil dulu!" hardik Bu Ningsih. Ia kemudian tergopoh-gopoh menemui Sesil yang sudah menunggu di koridor.
"Ada ada, Non? Perubahan rencana bagaimana yang Non maksud?"
"Ayah tadi baru saja menelepon. Menanyakan soal kesediaan gue menerima lamaran si petani. Gue keceplosan bilang kalo gue bersedia dinikahin kapan saja. Karena gue pikir toh yang akan menjalaninya si Lara."
"Terus?" Bu Ningsih penasaran.
"Ya terus gue paniklah. Karena ayah langsung menelepon Pak Jaya. Bilang kalo gue bersedia menerima perjodohan ini."
"Lah, berarti rencana sesuai dong, Non. Kan Lara yang akan menggantikan posisi Non di Yogya sana?" Bu Ningsih mengernyitkan kening.
"Mbok ini gimana sih? Ya nggak sama lah. Masa gue masih ada di rumah padahal Pak Jaya bilang gue udah ikut anaknya ke Yogya? Mikir, Mbok?" Sesil menunjuk kepalanya. Orang kalau tidak makan bangku sekolahan memang suka telat mikirnya.
"Oh iya ya, Non." Bu Ningsih menyadari kesalahannya. Walau Lara sudah menggantikan posisi Sesil, tapi Sesil tidak boleh ada di rumah ini. Itu artinya Sesil harus pergi juga.
"Jadi bagaimana, Non? Non akan ke mana?" Bu Ningsih kebingungan.
"Santai, Mbok. Justru ini yang gue idam-idamkan sedari dulu. Gue akan tinggal sendiri di tempat yang gue mau. Gue akan bebas lepas bagai burung lepas tanpa ada aturan ini itu dari ayah dan ibu. Gue merdeka, Mbok!" Sesil tertawa gembira. Ia akan menjalani hidup seperti yang ia inginkan.
"Jadi--jadi Non akan pergi jauh dari, Mbok?" Bu Ningsih sedih. Ia tidak mau jauh-jauh dari anak majikannya ini.
"Ya iyalah. Kalo nggak, rencana kita ini ya ketahuan. Mbok ini bagaimana sih?" Sesil memutar bola mata.
"Ayo kita ke kamar. Setelah Lara pergi, Mbok bantu gue untuk berkemas-kemas secepatnya." Sesil menarik tangan Mbok Ningsih dengan gembira. Ia sudah tidak sabar untuk keluar dari rumah di mana ia merasa bagai burung dalam sangkar emas ini.
Sementara di belakangnya, Bu Ningsih tertunduk sedih. Ia mengabdi hampir dua puluh satu tahun lamanya di rumah ini karena ingin selalu berdekatan dengan Sesil. Kalau Sesil pergi, tidak ada yang tersisa di hatinya. Karena separuh belahan jiwanya telah meninggalkannya.
***
Lara menarik napas panjang tiga kali sebelum melangkah ke ruang tamu. Dengan koper mewah pinjaman dari Sesil, Lara berjalan seraya menggeret koper. Perjalanan menantang takdirnya akan segera dimulai.
KAMU SEDANG MEMBACA
Menantang Takdir (Sudah Terbit Ebook)
RomanceAsmaulara Husna, terkadang merasa hidupnya mirip dengan kisah-kisah sinetron ikan terbang di televisi. Bagaimana tidak, ibu kandungnya lebih menyayangi Sesilia Hadinata, anak sang majikan dibanding dirinya sendiri. Setiap kali terjadi perselisihan a...