Part 2

1.5K 371 56
                                    

Empat tahun kemudian.

"Ini ongkos untuk ke kampus besok ya, Nduk? Kamu ada bimbingan dengan dosen pembimbing di kampus 'kan? Ayah akan ikut Bu Shinta seminar ke Bandung selama tiga hari. Jadi Ayah tidak bisa mengantarmu. Kamu berangkat dengan taksi online saja ya, Nduk?" Pak Yono meletakkan dua lembar uang seratus ribuan di atas meja makan. Keluarga kecilnya baru saja selesai makan malam.

"Ngapain Lara diberi ongkos sebanyak itu, Pak? Lagi pula walaupun Bapak ikut ke Bandung, tapi 'kan ada Farhan yang akan menggantikan Bapak mengantar Sesil dan Lara ke kampus?" Bu Ningsih tidak setuju suaminya memberi ongkos terlalu banyak pada Lara. Suaminya ini terlalu memanjakan anak tidak pada tempatnya.

"Ada Farhan?" Pak Yono membuat air muka mencemooh.

"Non Sesil itu selalu menyuap Farhan setiap kali Bu Shinta keluar kota. Sesil akan meminta Farhan pulang dan ia akan menyopir sendiri. Lara biasanya ia turunkan di tengah jalan. Anak itu memang nakalnya sampai ke tulang. Makanya Bapak memberikan Lara ongkos. Ibu 'kan tahu sendiri bagaimana perlakuan Sesil pada Lara," kata Pak Yono.

"Sesil begitu karena Bu Shinta terlalu mengekangnya. Makanya ia jadi nakal demi mendapat sedikit kebebasan."

Bu Ningsih membela Sesil. Shinta itu kaku sekali dalam mengajar anak. Tidak ada tarik ulurnya. Sesil yang sebentar lagi akan menjadi sarjana malah diperlakukan seperti anak SD. Makanya Sesil jadi pemberontak di belakang ibunya. Untung saja Pak Hardi, ayah Sesil, sangat menyayangi putrinya dan pengertian pada sang putri. Sesil kerap dibantu oleh ayahnya apabila ingin bersenang-senang di luar pengetahuan ibunya. Dirinya sendiri yang sudah mengasuh Sesil sejak bayi merah juga kerap membantu. Kalau tidak, Sesil pasti stress karena tidak mempunyai hiburan.

"Bagaimana tidak dikekang kalau kelakukannya liar begitu? Ibu lupa kalau bulan lalu Sesil baru saja menabrak seorang pejalan kaki hingga tewas karena mabuk-mabukan? Bu Shinta bersikap protektif begitu 'kan ada alasannya," bantah Pak Yono lagi. Bu Ningsih tidak menyahuti omongan suaminya. Ia tidak punya alasan lagi untuk membela anak majikannya.

"Buatkan Ayah kopi pahit ya, Ra?" Pak Yono mengeluarkan rokoknya saat melihat Lara mulai mengangkati piring kotor ke bak cuci piring. Sehabis makan begini memang paling nikmat merokok sambil ngopi.

Melihat ada kesempatan untuk menjauh dari perseteruan kedua orang tuanya, Lara segera melaksanakan perintah sang ayah. Ia lebih senang berlama-lama di atas kompor daripada menjadi wasit di antara ayah dan ibunya.

"Tapi tidak perlu sampai dua ratus ribu juga, Pak. Apalagi sekarang Lara hanya dua kali dalam seminggu ke kampus untuk bimbingan skripsi. Ongkos juga paling berapa lah. Jangan terlalu memanjakan anak. Nanti dia jadi tidak tahu hidup susah."

Di dapur Lara meringis. Ibunya masih tidak rela ayahnya memberinya ongkos yang terlalu banyak rupanya.

"Memanjakan bagaimana? Seratus ribu dua hari itu pas-pasan, Bu. Seperti Ibu tidak pernah berbelanja saja." Pak Yono menghisap rokoknya dalam-dalam. Istrinya ini terhadap anak sendiri pun pelitnya setengah mati.

"Kok seratus ribu? Bukannya itu dua ratus ribu?" Bu Ningsih menunjuk dua lembar uang berwarna merah yang saat ini masih tergeletak di meja.

"Seratus ribunya untuk pegangan, Bu. Siapa tahu nanti ada apa-apa di jalan," imbuh Pak Yono lagi.

"Ini kopinya, Pak." Lara meletakkan secangkir kopi yang masih mengeluarkan kepulan asap di atas meja."

"Terima kasih, Nduk. Itu uangnya disimpan dulu. Nanti hilang dicolong tikus kepala hitam," sindir Pak Yono kalem.

"Bapak nyindir, Ibu? Uang segitu tidak ada artinya untuk Ibu?" Bu Ningsih mengamuk. Suaminya ini selalu lebih berat ke anak daripada istri. Bagaimana ia tidak tersinggung karenanya?

Menantang Takdir (Sudah Terbit Ebook)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang