Part 6

1.8K 289 20
                                    

"Turun!" seru Bagas keras pada Sesil. Ia kesal karena Sesil masih saja duduk bengong padahal mereka telah tiba di tempat tujuan.

"Heh, apa?" Lara tergagap. Ia tidak mendengar kata-kata Bagas karena sepanjang jalan ia terus bergumul dengan benaknya sendiri. Makanya ia kaget saat Bagas tiba-tiba saja mengajaknya bicara.

"Kamu ingin terus duduk di mobil atau masuk ke dalam rumah?" Bagas kembali membentak Sesil. Moodnya yang sudah jelek karena insiden Agni tadi, membuatnya semakin kesal pada Sesil. Ia sama sekali tidak menyangka kalau rencana yang telah ia susun bersama Agni, berujung kacau seperti ini.

"Oh," umpatan Bagas hanya ditanggapi kata oh oleh Lara. Selanjutnya Lara turun dari mobil. Setelah berada di luar mobil, barulah Lara memandang takjub keindahan alam di sekelilingnya. Pemandangan hijau-hijau dengan semilir angin yang sejuk membelai-belai kulitnya.

"Indahnya ciptaanmu ya, Allah," gumam Lara lirih. Ia mengagumi suburnya tanaman teh yang terhampar bagai karpet hijau raksasa di depannya. Setelahnya Lara mengalihkan pada rumah-rumah kuno yang berjarak kurang lebih sepuluh meter di hadapannya. Rumah-rumah berarsitektur zaman kolonial yang kokoh dan megah.

"Ayo, masuk." Hardikan Bagas kembali singgah di telinga Lara. Memutus kekaguman Lara akan kemegahan rumah zaman kolonial Belanda di depannya. Ciri khas Belanda terlihat jelas pada arsitekturnya. Salah satunya adalah banyaknya jendela-jendela yang berukuran besar. Lara pernah melihat rumah-rumah dengan arsitektur seperti ini di buku-buku sejarah. Rumah-rumah Belanda pada tahun 1910-an rata-rata bentuknya memang seperti ini. Lara menghitung ada sekitar empat rumah yang saling bergandengan di hadapannya.

"Mau ke mana lagi kamu?" bentak Bagas ketika Sesil kembali lagi ke mobil. Sesil ini walau tidak banyak bicara, tapi ngeyelan orangnya.

"Saya mau mengambil koper, Mas. Biar tidak bolak-balik," terang Lara.

"Biarkan saja di situ. Nanti biar Aris yang mengambilnya."

"Oh, ya sudah kalau begitu." Lara mengangkat bahu. Ia tidak tahu siapa itu Aris. Ia berusaha bersikap santai, padahal sebenarnya ia ketakutan. Tekadnya sudah bulat, ia tidak boleh tampak lemah di sini, agar Bagas dan siapa pun itu tidak bisa menindasnya.

"Ikuti saya." Bagas berjalan dengan langkah panjang-panjang memasuki halaman rumah. Ketika tiba di depan pintu, ia menendang kasar daun pintu hingga terbuka lebar. Lara yang berdiri di belakangnya nyaris terlompat kaget. Namun Lara tetap diam, walau jeritan kagetnya sudah diujung lidahnya. Ia harus terlihat tenang alih-alih ketakutan.

"Astaga, ada apa tho, Mas? Pulang-pulang kok ngamuk? Pintu ndak salah malah ditendang?" Lara mengamati seorang wanita paruh baya yang tergopoh-gopoh keluar dari dalam rumah.

"Tidak apa-apa, Mbok. Ayah mana?" Bagas menanggapi omelan Mbok Sum datar. Pengasuhnya sedari kecil ini memang kerap memperlakukannya seperti anak kecil. Ia lupa kalau anak yang diasuhnya dulu sudah dewasa. Mbok Sumi juga tetap memanggilnya Mas seperti ia kecil dulu.

"Pak Jaya ada di kamar. Sedang beres-beres. Setelah kamu Mas menikah, Pak Jaya  bilang beliau mau istirahat ke kebun teh yang di Bandung." Setelah menjawab pertanyaan Bagas, pandangan Mbok Sum tertuju pada seorang gadis cantik yang berdiri canggung di samping anak asuhnya.

"Wah, pasti ini Mbak Sesil ya? Astaga wajahmu plek ketiplek dengan ayahmu sewaktu muda. Benar-benat mirip Hardi versi perempuan." Mbok Sum surprise melihat kemiripan gadis ini dengan Hardi, teman kecilnya. Benar-benar seperti pinang dibelah dua.

Wajahnya mirip dengan Pak Hardi? Bagaimana ceritanya? Lara membathin.

"I--iya, Bu. Nama saya La--Sesilia Hadinata." Tergagap-gagap Lara memperkenalkan dirinya sebagai Sesil. Ia nyaris salah mengucap nama.

Menantang Takdir (Sudah Terbit Ebook)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang