04

528 120 0
                                    

Udara pagi dihirup [name] dalam dengan senyuman di wajahnya. Hari yang ia tunggu tunggu akhirnya datang juga dimana dia bisa menikmati waktunya sendiri tanpa ada seseorang yang mengekorinya.

Langkahnya terasa sangat ringan saat memasuki kelas. Pandangannya ia edarkan ke seluruh penjuru ruangan dan benar dugaannya. Dia tak ada di bangkunya.

Ia duduk dan mengeluarkan mp3 player dari dalam tasnya. Akhirnya, ketenangan hakiki. Dia menaruh kepalanya di lipatan tangannya, matanya terpejam menunggu bel masuk membangunkannya.

Andai dia bisa merasakan ini setiap hari.

Sesuatu menarik mp3 player dari kedua telinganya. Dia terbangun dan menatap seseorang yang kini berdiri di samping mejanya.

"Kau bilang kau tak akan menggangguku hari ini."

"Aku hanya memastikan kau masih hidup. Jika kau masih tak kunjung bangun aku bersedia menciummu." [name] berdecak kesal. Pergilah sudah harapannya untuk menikmati hari tenang ini.

"Aku masih hidup, sekarang pergi. Kau bilang kau memiliki urusan hari ini."

"Aku akan pergi sebentar lagi, tenang saja. Hanya ingin melihatmu sekali lagi saja." Yoshida menarik kursinya dan duduk di samping [name], membuat perempuan itu harus menarik kursinya menjauh dari laki laki berambut hitam itu.

"Jika kau datang untuk mengatakan selamat tinggal, aku tak keberatan." [name] kembali meletakkan kepalanya di lipatan tangannya sembari menatap dingin Yoshida yang juga melakukan hal yang sama namun dengan senyuman di wajahnya.

Kesal melihat wajah itu, satu ide akhirnya terlintas di kepala [name].

"Aku harus pergi." Ucap [name] bangkit dari kursinya.

"Untuk...?"

"Bertemu dengan seseorang." Dia berbalik memunggungi Yoshida. Meski dia tak dapat melihat bagaimana wajahnya sekarang, tapi dia yakin Yoshida tengah menunjukkan kecewanya sekarang.

"Siapa dia?" Tanya Yoshida. Sudah ia duga laki laki itu tak akan membiarkannya pergi menemui seseorang sendiri.

"Denji." Jawabnya dan mulai melangkah keluar dari kelas. Tak lama kemudian derit kursi terdengar dan seseorang menepuk bahunya, sedikit menariknya untuk kembali ke dalam kelas.

"Jika kau memerlukan sesuatu, kau bisa meminta bantuanku." Mendapat reaksi yang dia harapkan, [name] berusaha menahan tawanya.

Laki laki ini... Dia cemburu pada laki laki pirang berkepala kosong.

[name] menepis tangan Yoshida dari bahunya. Ternyata menjahili laki laki yang satu ini menyenangkan juga.

"Bukannya kau memiliki urusan hari ini? Jadi pergilah, kau akan terlambat."

"Tidak sampai kau berjanji satu hal."

"Apa itu?"

"Pastikan kau menjaga jarak dengannya sampai aku kembali."

"Kenapa? Dia temanku. Bukan berarti aku akan menyukainya." [name] melirik Yoshida yang kini memberinya tatapan dingin.

"Sejak kapan kalian berteman?"

"Semenjak dia membantuku memberi pelajaran kepada para preman sekolah. Ada sesuatu yang harus kubicarakan dengannya sebentar. Kau tak perlu khawatir, aku tak akan menyatakan perasaanku padanya."

[name] berjalan keluar dari kelas, meninggalkan Yoshida yang masih berdiri mematung dengan senyuman di wajahnya. Tangannya memainkan mp3 player milik [name].

"Kenapa kau sangat sulit untuk ditaklukan?"

*************

[name] berlari kembali ke dalam kelas dan mencari sosok Yoshida di antara semua siswa. Dia mendecak kesal sembari berjalan kembali ke kursinya, menenggelamkan wajahnya ke lipatan tangannya.

"Laki laki itu mengambil mp3ku." Gumamnya kesal.

Ia berusaha mencari di kolong mejanya namun tak ada apa pun di dalamnya selain beberapa lipatan kertas tak terpakai.

Matanya melirik ke meja Yoshida. Entah mengapa dirinya tergerak untuk mengecek meja laki laki itu. Matanya menangkap secarik kertas dengan tulisan di atasnya.

"Temui aku setelah bel pulang berbunyi jika ingin benda kesayanganmu kembali..."

[name] meremas kertas tersebut kesal, membayangkan senyuman menyebalkan Yoshida sekarang setelah membawa pergi barang kesayangannya.

"sialan kau, Yoshida."

*************

Yoshida menatap tajam Denji yang tengah tertidur pulas di atap, bahkan sinar matahari yang menyengat tak dapat membangunkannya. Kedua tangannya terlipat di depan dada.

"Sampai kapan kau akan terus terkapar seperti itu?" Merasakan sinar matahari yang seharusnya menyorot wajahnya menghilang, Denji akhirnya membuka matanya malas.

"Hah? Bukannya seharusnya kau ada di kelas sekarang?"

"Aku memiliki pertanyaan yang sama denganmu." Yoshida duduk di samping Denji. Ingin mengusirnya tapi dia terlalu malas untuk berdebat dengan anak yang satu ini.

"Aku akan kembali ke kelas setelah istirahat makan siang." Ucap Denji kembali memejamkan matanya.

"Tak perlu, aku sudah meminta izin pada guru. Kau menjaga kata katamu, bukan?"

"Huh? Ohhh... Tenang saja, aku tak membagikan identitasku sebagai Chainsaw Man pada publik. Hmm... Untuk hari ini." Setidaknya dia bisa bernafas dengan tenang.

"Ada satu hal yang ingin kutanyakan padamu."

"Setelah itu kumohon pergi." Terdapat jeda sesaat diantara keduanya namun Yoshida dengan cepat memutus keheningan.

"Kau menyukai [name]?" Denji membuka matanya kembali, melirik Yoshida dari ekor matanya sebelum kembali fokus pada langit biru di atas.

Yoshida memperhatikan setiap gerak gerik Denji, kelihatannya teman pirangnya ini tertarik dengan pembicaraan mereka.

"Ya, aku menyukainya." Sebuah jawaban yang tak ingin ia dengar sekarang ini.

"Kenapa?"

"Dia memberiku uang."

"Semua wanita yang mendudukimu juga memberi uang, bukan?"

"Hmm... Dia berbeda. Permintaannya berbeda dari yang lainnya. Aku merasa menjadi lebih keren saat membantunya menghantam semua preman sekolah beberapa hari yang lalu."

Denji mengepalkan tangannya dengan memasang senyum lebar sedangkan Yoshida masih setia dengan wajah datarnya.

"Kau menyukainya juga, bukan? Tapi kelihatannya dia sama sekali tak tertarik padamu."

"Jadi?"

"Bukankah seharusnya ini waktumu untuk berhenti?" Mendengar itu Yoshida hanya bisa menarik senyuman khasnya.

"Justru itu mengapa aku menyukainya."

"Aneh... Sekarang tinggalkan aku."

***

Just You [Hirofumi Yoshida x Reader]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang