06

525 105 3
                                    

Ujung sepatunya ia ketukkan pada lantai lobi untuk mengusir rasa bosan. Ia melirik layar ponselnya yang menunjukkan pukul 4 sore yang berarti sudah saatnya dia bertemu dengan kasur empuknya.

Rutukkan terkadang lepas dari mulutnya setelah mengingat mp3 kesayangannya kini berada di tangan Yoshida. Setelah tertampar oleh mantan brengseknya, akankah hari ini akan menjadi lebih buruk lagi?

"Aku akan terjebak di sini semalaman jika dia tak segera datang." [name] berusaha memikirkan hal lain untuk mengusir rasa bosannya, bahkan adu tatap dengan satpam sekolah pun dia tak masalah dari kejauhan.

Satpam yang sedari tadi ditatap olehnya hanya bisa melirik ke sembarang arah. Tatapan dingin juga tajam itu akan menjadi mimpi buruk barunya.

"Kau benar benar menungguku?" Suara itu, akhirnya...

[name] berbalik dan mengulurkan tangannya, meminta kembali mp3 player yang dijanjikan Yoshida.

"Awww, padahal aku ingin menyimpan ini sebagai kenanganku bersamamu." Yoshida menarik tinggi tinggi mp3 player [name] saat kedua tangan perempuan itu hendak merebutnya kembali.

"Aku sudah menunggumu selama ini jadi kembalikan." Pinta [name] dengan menarik lengan baju Yoshida, mungkin saja dia dapat menurunkan tangan menyebalkan itu.

"Lukamu itu, seseorang menyakitimu?" Tanya Yoshida seraya menunjuk ke arah pipi [name].

"Tak akan hubungannya denganmu, sekarang kembalikan." Yoshdia berpikir sejenak, mungkin melakukan pertukaran ada baiknya.

"Dengan satu syarat." [name] memasang wajah cemberut, dia tak suka dengan apa yang Yoshida minta kali ini.

"Sudah kubilang ini tak ada hubungannya denganmu."

"Wajah cantikmu rusak karena luka itu. Aku tak bisa diam saja." Yoshida mengangkat mp3 player milik [name] kembali, sengaja ia tunjukkan pada perempuan di depannya untuk membujuknya.

"Berjanjilah kau tak akan membuat masalah lagi. Kembalikan mp3ku dulu dan akan kuberitahu." Akhirnya Yoshida memegang kata kata [name] dengan mengembalikan mp3 playernya.

Keduanya akhirnya berjalan pergi dari lobby bersama dengan Yoshida yang sudah memasang telinganya untuk mendengarkan cerita [name].

"Mantan pacarku menamparku. Selesai." Cerita yang singkat, padat, dan jelas dari [name].

"Dia melakukannya lagi padamu?"

"Ya, dia-..." Kata kata [name] terhenti saat dia menyadari orang yang berada di sampingnya bukanlah teman dekatnya. Dia menoleh ke arah Yoshida yang memasang wajah tak bersalahnya.

Seingatnya, dia hanya menceritakan masalah mantan pacarnya ini pada sahabatnya. HANYA dia yang tahu soal masalah ini. Bagaimana Yoshida mengatakan kata "lagi" dengan santainya tadi?

"Ada apa? Kau terlihat ketakutan."

"Bagaimana kau tahu-... Tidak, lupakan." Mungkin dia hanya salah dengar? Sedang banyak orang di trotoar sekarang ini jadi mungkin itu berasal dari orang lain, kan?

Semoga saja...

"Kapan dia menamparmu?" Tanya Yoshida dengan nada khawatir.

"Saat jam makan siang." Tak ada jawaban dari Yoshida setelahnya. Namun seketika keheningan itu dipecah oleh suara Yoshida.

"Itulah kenapa aku ingin selalu ada di dekatmu."

"Hm?"

"Aku ingin selalu melindungimu, [name]." perempuan itu menatapnya curiga, setetes keringat dingin mulai menetes dari pelipis [name]. Selalu ingin melindunginya? Dia tak pernah berada dalam masalah sebelumnya, yang ada [name] harus ada saat Yoshida dalam bahaya.

"Berhenti mengatakan hal itu."

"Hm? Bukankah itu hal normal yang dikatakan seseorang pada orang yang berharga baginya."

"Ya, tapi jika kau yang mengatakannya, kau terdengar seperti seseorang yang akan mati."

"Jadi, kau mengkhawatirkanku?"

"Aku akan senang mendatangi pemakamanmu."

*************

Yoshida menelusuri setiap berkas di dalam laci ruang OSIS. Terima kasih [name] memintanya untuk mencarikannya berkas klub yang lupa ia bawa sementara dia mengurus beberapa hal di luar.

Ketua OSIS itu terlalu malas untuk mengambilnya setelah berpromosi kesana kemari.

Satu persatu laci ia buka dan menemukan berkas yang diminta [name]. Sebuah kehormatan baginya untuk membantu perempuan terkasihnya.

Dia berjalan ke arah meja dan mengambil berkas lain di atasnya. Senyumannya seketika mengembang saat dia membaca nama yang tertera di dalamnya.

"Takeda Ryo, huh? Tak kusangka kita sudah bertemu beberapa kali di lorong ini."

*************

Makan siang tiba dan rasanya [name] merindukan saat saat dia bisa makan bersama sahabatnya. Entah kenapa saat dia mengajak sahabatnya makan bersama dan Yoshida datang, dia akan menolak ajakannya.

"Kau tak akan berterima kasih padaku?" Tanya Yoshida di sela keheningan.

"Terima kasih." Kembali dengan respon yang singkat.

"Sama sama. Kau tak menolak kali ini, kurasa kita mengalami kemajuan."

"Dan untukku itu sebuah kemunduran."

Rasanya aneh saat memiliki bodyguard seperti Yoshida. Seperti semua orang tak berani untuk mendekati mereka berdua bahkan perempuan yang mendambakan laki laki ini.

Biasanya saat dia menbaca novel, perempuan sepertinya akan dihajar habis habisan oleh para penggemar sang laki laki pujaan.

"Kau tak membuat masalah lagi, kan?" Tanya [name] mulai menyuap makanan ke mulutnya.

"Aku memegang kata katamu, tenang saja." [name] mengangguk sebagai respon. Baguslah, masalahnya berkurang satu hari ini. Setelah berjalan kesana kemari mengikuti ketua OSIS, dia hanya ingin mengistirahatkan kakinya yang malang.

"Soal Denji, dia tak melakukan atau mengatakan hal aneh padamu, kan?"

"Tidak. Hal itu masih mengganggumu?"

"Hanya khawatir."

Pembicaraan mereka harus tertunda saat pintu atap dibuka dan menampilkan Denji yang tengah berdiri di ambang pintu.

"Disana kau ternyata." Denji melebarkan senyumannya saat dia melihat [name] walau kini dia bersama Yoshida.

Tangannya mengulurkan sekaleng minuman pada [name] dengan tangan lain menunjukkan lambang peace.

"Untuk yang kemarin. Terima kasih karena sudah menyelamatkan nyawaku." [name] menerima minuman itu sembari menghela nafas.

"Aku melakukannya karena kasihan padamu. Tapi terima kasih." Mendengarnya membuat Denji melebarkan senyumannya dan berjalan pergi. Pertemuan singkat itu cukup membuatnya berbunga bunga.

"Apa yang terjadi kemarin?" Tanya Yoshida memperhatikan Denji yang berjalan menuruni tangga.

"Oh, Denji bilang dia menghabiskan waktunya di lantai atap tanpa makan dan minum hingga jam makan siang. Aku tak tega melihatnya jadi aku membelikannya roti."

Jika saja [name] bisa mengabadikan wajah Yoshida yang nampak cemburu sekarang ini.

"Kau tak pernah melakukannya padaku."

"Kau selalu membawa bekalmu, kan? Jika kau mau kubelikan minuman tak apa."

"Benarkah?"

"Kau ingin aku berubah pikiran?"

Bagaimana dia tak senang? Sepertinya dia memiliki kemajuan dengan orang yang membencinya ini.

"Kenapa kau tersenyum seperti itu?"

"Aku selalu tersenyum seperti ini."

* * *

Just You [Hirofumi Yoshida x Reader]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang