Prolog

45 5 0
                                    

Jakarta dan eksistensinya sebagai kota yang paling sibuk membuatku harus berangkat lebih cepat di hari Senin. Istilah monday is busy day melekat dengan baik di kepala cantikku ini.

Halah, itu bualanmu! Yang asli, kamu buru-buru gara-gara takut sama bos bujangan yang killer itu kan? Begitulah ucapan Cik Erika saat aku mengambil kwetiau di rumahnya. Perempuan keturunan Tionghoa yang gemar mendengarkan musik guzheng itu tahu betul apa kegundahan ku selama menjadi kacung di VICE--perusahaan fashion yang lumayan mampu bersaing di pasar global busana.

Ngomong-ngomong soal bosku di kantor, aku jadi teringat dengan desas-desus yang baru saja mengudara di bawah atap gedung VICE. Bahkan masih hangat, sehangat kwetiau Cik Erika yang sekarang ini aku tenteng.

Desas-desus itu erat kaitannya dengan kepribadian hingga penampilan si pemilik nama lahir Naratama Saga Sudjiwo itu. Mulai dari pengidap Bipolar karena terkadang marah-marah nggak jelas dan tiba-tiba berubah bak Dewa Zeus dalam sekejap atau keanehan lain seperti memakai earphone kemana-mana.

Kubur dalam-dalam soal Naratama dan sekelumit kisahnya, karena sekarang, mata cantikku menyoroti segerombol karyawan di dekat koridor. Mereka nampak memperbincangkan sesuatu yang penting hingga berkerumun bak mengantri BLT.

Oh tunggu! Aku sempatkan mencuri dengar dari salah satu partisipan geng gosip pagi ini.

"Kok bisa ya Pak Tama sakau di kantor?"

Demi guzheng miliknya Ko Steve, suaminya Cik Erika, Pak Tama beneran sakau? Ah, masak cowok se-gentle dia mainan pil koplo sih. Nggak elit banget tahu.

Aku segera mengeraskan langkahku agar tiba di lantai dua gedung VICE, tentu di sana tak sembarang bisa masuk. Melalui koordinasi Pak Manajer, ruang kerja Pak Tama sengaja di kosongkan dari orang-orang. Aku bisa melihat, di sudut ruangan bercat abu itu, sesosok pria tak berdaya sedang meringkuk, menutup kedua telinganya sambil merintih.

Tidak! Itu bukan sakau. Aku pernah melihat salah satu anak asuh Cik Erika di yayasan seperti itu, iya, aku yakin kalau Pak Tama tidak sakau. Keyakinan itu menuntunku untuk memberanikan diri menyergah ucapan Pak Manajer.

"Kayaknya kita harus hubungi BNN, Pak. Saya takut kalau Pak Tama akan collapse. Dilihat dari tingkah lakunya, Pak Tama udah sober !"

"Jangan, Pak!"

"Apa maksudnya? Tolong Asmara, jangan ikut campur sekarang!"

Pak Manajer sudah bersiap dengan ponselnya untuk menghubungi BNN dan karena tak punya waktu lama, aku segera menyeruak barisan penjaga dan menemui Pak Tama di sudut ruangan. Entah intuisi atau perasaan naluriah lainnya, aku membayangkan saat Cik Erika menerapi salah satu anak asuhnya yang sering tantrum dan ketakutan seperti ini.

"Pak Tama."

Mata pria itu menatapku dengan dalam, bibirnya bergetar hebat dan tangannya bergetar. Aku membantunya menutup telinga saat Pak Tama menggenggam tanganku dengan erat.

"Pak Tama bisa dengar suara aku?"

Meski dengan nafas tersengal, Pak Tama mengangguk lemah. Aku mempraktekkan gaya Cik Erika saat melatih pernapasan anak-anak di yayasan, satu menit terlewati, Pak Tama belum juga sadar dan aku mulai gusar. Jangan-jangan usaha ku gagal.

"Asmara, tolong jangan bertingkah kaya anak kecil! Minggir dari situ dan kembali ke ruang kerja!"

Aku benar-benar tidak menghiraukan teriakan Pak Manajer di belakang. Aku kembali fokus ke Pak Tama.

Latihan pernapasan yang aku ajarkan sama sekali tidak mempan, sementara orang-orang di belakangku mulai meneriaki tindakan sok pahlawan yang aku lakukan ini. Ah, bukan sok pahlawan, aku bahkan yakin kalau di biarkan saja, Pak Tama benar-benar akan kehilangan nyawa.

Salah satu cara yang belum aku lakukan adalah...memeluk! Dengan mengesampingkan rasa gengsi dan perintilannya, aku membawa tubuh Pak Tama ke dekapan dan membantu menenangkannya.

Fyuh! Sekelebat bayangan itu akhirnya muncul setelah beberapa bulan berlalu. Aku tersenyum miris sembari memegang cokelat hangat, terpaan angin dari lembah alpen dan air terjun staubach di Lauterbrunnen ini membawaku terbang jauh untuk mengingat kenangan indah bernama cinta.

Momen manis yang baru saja terenggut oleh takdir dan semesta itu berhasil membuat hormon adrenalin ku terpacu.

Di depanku, sebuah kotak persegi panjang yang terbuat dari kayu dengan vernish mengkilap dan bunga lily yang indah membaringkan cinta pertamaku disana, Naratama Saga Sudjiwo.

Lauterbrunnen, 22 Desember 2019.

Jika Nanti Jumpa LagiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang